BUMDHUKUMKORPORAT

Mencari Hantu Penggadai Tanak Bank DKI

Pembayarannya Pakai NJOP Tahun 1998

 Dukungan mengalir bagi Pansus terhadap lahan Bank DKI yang terancam raib. Jejak pelaku masih simpang siur.

ilustrasi foto: indopos.co.id
ilustrasi foto: indopos.co.id

Jakrev.com, Jakarta – Setelah selesai DPRD DKI Jakarta membentuk alat kelengkapan dewan, para legislator kini bekerja mengejar pekerjaan yang menumpuk. Salah satunya memburu asset Bank DKI, yakni lahan seluas sekitar 6000 meter persegi di Jalan MH Thamrin, tepatnya di depan Bank Mandiri Bundaran HI, di sebelah Hotel Sari Pan Pasific.

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi merasa tak habis pikir bagimana tanah tersebut terancam direnggut oleh Lippo Group. Meski belum memahami jelas kronologisnya, Edi bersedia bercerita sejarah singkat kepemilikan lahan tersebut. (Baca : Banyak Tangan).

Baginya, Bank DKI maupun Pemprov DKI akan menderita kerugian bila lahan di jalur emas itu sampai jatuh ke tangan Lippo Group. Sebab, nilai pembayarannya sebesar Rp 18 miliar bagi Pras terlalu kecil. “Sudah beberapa belas tahun lahannya tidak terbangun (oleh Lippo). Akhirnya sekarang malah mau ngilang, tanahnya mau dibeli Rp 18 miliar. Apa-apaan ini, masa mau dibeli cuma Rp 18 miliar?,” tanya dia. Kalikan aja Rp 125 juta kali 8.000 meter persegi,” kata Pras.

Salah seorang anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI, Prabowo Sudirman menyebutkan pihak swasta yang dimaksud adalah PT Bumi Perkasa Propertindo (BPP) sebagai anak usaha dari Lippo Group. Seharusnya, asste itu tak bisa jatuh ke pihak swasta.

“Tahun 1997 diteken kerja sama dalam bentuk kerjasama bulid operate transfer (BOT) antara Bank DKI dengan Lippo Group. Lippo dipercaya membangun gedung di lahan milik DKI itu dengan membayar uang ke bank pelat merah itu. Tapi lantaran krisis ekonomi kala itu, Lippo tidak jadi membangun gedung hingga sekarang,” tunjuknya.

Karena itu, sah saja bila Bank DKI kemudian melakukan pembatalan kerja sama. Lantaran anak usaha maupun Group Lippo sendiri telah wanprestasi.

Tak kalah berang dengan Muhammad Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI soal ini. Ia juga berjanji akan menuntaskan kasus rebutan asset tersebut lewat Pansus. Sebab, Lippo menurutnya meminta permintaan kelewat tinggi, yakni masa BOT 40 tahun setelah selesai dibangun. “Itu sama dengan sampai kiamat karena belum ada pembangunan,” tegasnya.

“Ketika ada tambahan PMP (Penyertaan Modal Pemerintah) untuk Bank DKI dalam membangun kantor baru masalah ini ceritakan. Pokoknya leeway Pansus kita akan gerus siapa saja yang terlibat lewat hukum. “Kan kelewatan namanya yang begini,” tudingnya.

Di tempat terpisah Corporate Secretary Bank DKI, Zulfarshah merasa pihaknya sudah berupaya melakukan pembatalan perjanjian dengan pihak Lippo grup terkait peminjaman lahan tersebut. Sayangnya lewat jalur hukum terjadi pembatalan dan pengambilalihan gagal akibat kalah di pengadilan. “Sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung kami kalah juga,” akunya.

Kasus ini sebelumnya diajukan pihak Lippo grup ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta pada 2004, dan dikabulkan. Bank DKI lantas melakukan banding ke tingkat Mahkamah Agung (MA), sayangnya putusan MA tahun 2010 juga menolak permohonan kasasi Bank DKI. “Bank DKI membatalkan perjanjian kerjasama BOT dengan Lippo karena dianggap merugikan Bank DKI. Waktu BOT hingga 35 tahun, setelah itu tidak ada pengalihan kepemilihan lahan,” ketusnya.

Bank DKI sendiri menjalin komunikasi dengan pihak Lippo untuk bernegosiasi kembali agar perjanjian tersebut bisa diubah. Hanya saja Bank DKI dianggap terlalu lunak. Medio Desember lalu jajaran petinggi Bank DKI berkunjung ke Beritasatu Holding, sebagai salah satu anak usaha Grup Lippo. Namun, Zulfarshah mengelak. “Bukan lobi. Hanya visit media biasa saja. Kebetulan saja beritasatu holdings. Tunggu saja Pansus DPRD,” kilahnya kepada Jakarta Review.

Langkah Pansus ala DPRD DKI Jakarta ini ternyata mendapat dukungan. Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Bahkan, dirinya sudah minta bantuan Kejaksaan Agung dalam menuntaskan asset-asset kepunyaan ibukota yang bermasalah. “Kita dorong bentuk pansus, itu bagus. Biar tebuka, kenapa dulu bisa kejadian kerja sama kok melemahkan kita. Lebih bagus ada kekuatan politik mendukung,” ketusnya.  kami,” katanya.

sekbankdkiTanah tersebut tak kunjung digunakan dan tetap dibiarkan kosong. Seharusnya, kata Ahok berpendapat, tidak menjadi persoalan jika Pemprov DKI mengambil kembali lahan karena tak jadi dibangun Lippo Group. “Jadi, selesainya kapan? Orang kerja sama dengan kita dia tidak bisa bangun, masak tidak bisa balikin ke kita,” katanya.

Sementara Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Heru Budi Hartono merasa Pemprov DKI Jakarta tak bisa berbuat banyak. Alasannya, tersebut karena status lahan bukan berada langsung di bawah kepemilikan Pemprov DKI. Karena itu, ia berharap nantinya pansus yang dibentuk oleh DPRD DKI bisa berhasil mencegah jatuhnya lahan bernilai ekonomis tinggi itu ke Lippo. “Pemprov DKI tidak bisa ikut campur, tetapi kita mendukung pembentukan pansus. Lagi pula masa lahannya nanti diambil, terus pembayarannya pakai NJOP (nilai jual obyek pajak) tahun 1998,” pungkasnya. (Renold Rinaldi)

Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi:

“Banyak Tangan”

Kesal asset bank DKI jatuh ke tanan swasta, orang nomor satu di dewan Kebon Sirih ini mengaku akan menggulirkan panitia khusus (Pansus). Kepada Oki Akbar dari Jakarta Review, ia sedikit membuka tabir gelap hilangnya tanah yang sebenarnya akan dibangun kantor pusat Bank DKI. Berikut penuturannya:

Bisa diceritakan sedikit masalah sengketa lahan tersebut?

Begini, dulu zamannya ada pak Darminto itu punya tanah, sudah keluar sertifikatnya. Tiba-tiba sertifikatnya nggak tahu kemana. Kemudian dari situ turun ke TPUT.  Turun ke hartono, terus turun lagi ke Lippo. Sudah nggak ada yang lobi. Doi sendiri.

Setelah itu?

Ada banyak cerita dan banyak tangan. Menuju itu ternyata ada saham Tommy Soeharto. Nah karena tak bisa jalan sama Tommy Soeharto kemudian dialihkan ke PT Bumi Perkasa Propertindo (BPP) yang merupakan anak perusahaan Lippo Group. Tapi waktu itu di belakangnya ada grup modern sebagai pemegang saham.

Kerja sama BOT berjangka 40 tahun. Setelah bangunan selesai, Perda (Peraturan Daerah) lalu  mengatur BOT hanya selama 25 tahun. Lalu oleh PT BPP dialihkan lagi sistem BOT-nya ke Lippo. Setelah diajukan gugatan di MA, bank DKI malah kalah. Tapi akuratnya nanti ya.

Kalau indikasi keterlebitan dari pihak Bank DKI sendiri?

Nah bank DKI ini belum bongkar. Yang tdi itu kan baru normatifnya sama. Siapa sih grup modern itu? Siapa juga dibalik PT BPP? Padahal tanah itu sudah ada sertifikatnya.

 

 

Related Articles

Back to top button