MEGAPOLITAN

Atasi Kemacetan Jabodebatek Butuh Investasi Rp 600 Triliun

Kepala BPJT Bambang Prihartono. (Dok: Istimewa)

Jakarta Review, Jakarta – Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyatakan, untuk mengatasi kemacetan dan peningkatan penggunaan angkutan umum di wilayah Jabodetabek pada 2029 dibutuhkan investasi setidaknya Rp 600 triliun. Adapun sasaran yang dituju adalah penggunaan angkutan umum mencapai 60 persen dari total pergerakan orang serta waktu tempuh rata-rata 1,5 jam.

Kepala BPTJ, Bambang Prihartono, menjelaskan, BPTJ telah diberi amanat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merealisasikan program kegiatan yang terdapat dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) yang ditegaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018. Dalam RITJ disebutkan secara rinci sasaran yang dituju dalam kurun waktu 2018-2029 serta kegiatan-kegiatan apa saja yang harus dilakukan untuk menggapai sasaran tersebut.

“Karena itu, kami harus melakukan apa yang tercantum dalam RIJT. Kami akan eksekusi itu. Kebutuhan investasi (pengadaan prasarana, sarana, serta fasilitas lainnya) ditaksir mencapai Rp 600 triliun sampai dengan 2029,” ujar Bambang di Jakarta, Jumat (14/12).

Menurut dia, kebutuhan investasi Rp 600 triliun tersebut baru mencakup pembangunan dan revitalisasi prasarana serta sarana di sektor perhubungan, seperti jalur kereta api (KA) perkotaan dan terminal angkutan darat untuk penumpang dan barang. Tetapi, belum termasuk pembangunan jalan nasional ataupun jalan tol yang menjadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Lebih lanjut, dia menyampaikan, ada sejumlah key performance indicators (KPI) yang menjadi target, antara lain pergerakan orang pengguna angkutan umum perkotaan harus mencapai 60 persen dari total pergerakan orang, waktu perjalanan rata-rata di dalam angkutan umum perkotaan adalah 1,5 jam pada waktu sibuk, kecepatan rata-rata kendaraan angkutan umum perkotaan pada jam puncak adalah 30 km/jam, cakupan layanan angkutan umum mencapai 80% dari panjang jalan, serta akses jalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter.

“Kami punya beberapa indikator. Jadi seperti akses jalan kaki ke angkutan umum harus 500 meter itu adalah jarak psikologis. Kalau lebih dari itu, masyarakat cenderung untuk pindah menggunakan angkutan pribadi,” imbuh Bambang.

Di tempat yang sama, Direktur Prasarana BPTJ, Heru Wisno Wibowo, mengakui, kebutuhan investasi Rp 600 triliun merupakan nilai yang besar dan tidak mungkin dibiayai seluruhnya oleh pemerintah pusat maupun daerah. Karena itu, BPTJ mendorong, munculnya pembiayaan-pembiayaan kreatif dengan melibatkan BUMN maupun pihak swasta.

“Dengan besarnya angka Rp 600 triliun ini, kami harus mengupayakan pembiayaan kreatif. BPTJ juga menjadi pengawal bagaimana terwujudnya RITJ dengan pembiayaan kreatif melalui KPBU (kerja sama pemerintah badan usaha) dan PINA (pembiayaan investasi non-anggaran pemerintah),” lengkap Heru.

Dia menyebutkan, proyek-proyek yang tercantum dalam RITJ dan pembiayaannya didorong menerapkan skema KPBU di antaranya pembangunan Jakarta Elevated Loop Line Railway dan Mass Rapid Transit (MRT) East-West.

Adapun waktu pelaksanaan proyek maupun kegiatan dalam RITJ dibagi dalam tiga tahap, yakni 2018-2019, 2020-2024, dan 2025-2029. “Setiap proyeknya itu sudah dijelaskan kapan dilaksanakan dan kapan ditargetkan selesai, serta ada dinyatakan siapa yang bertanggung jawab atas proyek itu. Jadi semua pihak akan mengacu dalam RITJ,” papar Heru.

Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPTJ, Eddy Gunawan, menjelaskan, Perpres 55/2018 diterbitkan pada 20 Juli 2018 dan akan menjadi titik tolak keberhasilan dalam mengelola transportasi di wilayah Jabodetabek. Setelah Perpres RITJ itu terbit, lanjut dia, pihaknya langsung menindaklanjutinya dengan berkoordinasi bersama pemerintah daerah. Setiap pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek akan menyusun rencana aksi tindaklanjut RITJ.

“Ini kita harus terlebih dahulu action plan-nya setiap daerah sehingga program di daerah ini bersinergi dengan RITJ,” imbuhnya.

Sumber: BeritaSatu.com

Related Articles

Back to top button