Pemprov DKI Belum Bisa Menetapkan Pelarangan Penggunaan Air Tanah. Ini Alasannya

Jakarta Review, Jakarta – Keinginan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk melarang penggunaan air tanah tampaknya belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Pasalnya masih ada sejumpah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh Pemprov DKI untuk menerapkan kebijakan tersebut.
“Untuk saat ini larangan pengambilan air tanah belum bisa diterapkan, karena justru ada pekerjaan rumah dari Pemprov DKI Jakarta yang belum mampu sepenuhnya dipenuhi,” ujar Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga kepada Jakarta Review, Kamis, 22 Maret 2018.
Menurutnya ada tiga pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh Pemprov DKI sebelum menerapkan kebijakan pelarangan penggunaan air tanah. Adapun ketiga pekerjaan rumah tersebut adalah:
Pertama, kuantitas pasokan air baku untuk PAM yang masih sangat terbatas. Hingga kini angkanya baru berkisar 55 persen. Ini berarti masih ada kekurangan 45 persen yang harus dipasok. Pertanyaannya darimana sumber air bakunya ?
Kedua, soal kualitas mutu baku air PAM yang tidak stabil (tergantung sumber air bakunya). Terkadang masih keruh dan bau sehingga tidak layak untuk dimasak dan diminum.
Ketiga, soal kontinuitas pasokan air yang tidak pasti. Dimusim hujan banyak yang terbuang (banjir), sementara dimusim kemarau kesulitan air baku, sehingga tidak bisa setiap saat mengalir atau aliran air hanya pada jam-jam tertentu, terkadang bisa tidak mengalir seharian terutama di musim kemarau panjang.
Merujuk pada ketiga fakta tersebut lanjut Nirwono, maka gedung perkantoran, hotel, dan industri jelas tidak bisa mengandalkan air PAM, akibatnya mau tidak mau mereka terpaksa menggunakan pompa air.
“Masalahnya semakin tinggi gedungnya, maka pompanya semakin dalam, sementara semakin banyak penghuninya maka semakin besar air yang dipompa sehingga pengambilan air tanah menjadi tidak terkendali dan akibatnya terjadi penurunan muka tanah yang bervariasi antara 4-20 cm per tahun di berbagai wilayah DKI Jakarta,” tuturnya.
“Singkatnya selama Pemprov DKI tidak menyelesaikan PR nya, maka tidak bisa menghentikan penggunaan pompa air tanah mulai dari rumah, perkantoran, hotel hingga Industri,” cetusnya.
Lebih lanjut ia menambahkan, jika semua hotel ingin menghentikan penggunaan pompa dan kemudian beralih menggunakan air PAM 100 persen. Pertanyaannya, apakah Pemprov/PAM sanggup memenuhi kebutuhan air bakunya (kuantitas stabil), menjaga kualitasnya (tidak bau) dan tetap tersedia cukup (kontinuitasnya) di musim kemarau.
“Kalau tidak sanggup, pengelola hotel bisa dituntut tamunya jika airnya mati, airnya bau. Apakah Pemprov berani tanggung jawab. Demikian pula dengan Industri. Karena itu sekali lagi sanksi tidak bisa serta merta diterapkan selama Pemprov dalam hal ini PAM tidak membereskan PRnya,” tandasnya. (win)