BNN Resah Dualisme Hukum Bagi Anak Sebagai Kurir Narkoba
Jakrev.com – Demi menyelundupkan Narkoba masuk ke Indonesia, sejatinya pihak sindikat akan menggunakan berbagai macam cara, termasuk diantaranya adalah modus dengan memanfaatkan anak-anak di bawah umur sebagai kurir Narkoba. Oleh karenanya para penyidik perlu mewaspadai terhadap kemungkinan tersangka kasus tindak pidana Narkoba yang dihadapi adalah anak di bawah umur. Demikian disampaikan Direktur Hukum BNN Darmawel Aswar kepada para peserta monitoring evaluasi dengan tema Tingkat Pemahaman Tim Hukum pada Tim Asesmen Terpadu (TAT) Tentang Peraturan Perundang-undangan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Mamuju, Sulawesi Barat, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dapat berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini mengingat Undang-Undang SPPA lebih mengedepankan unsur diversi atau pengalihan hukuman pemidanaan pada tingkat pemeriksaan, penuntutan hingga peradilan bagi si tersangka. “Artinya bila seorang tersangka kasus Narkoba merupakan anak di bawah umur maka dimungkinkan ia akan mendapat sanksi yang berbeda, karena berlaku Undang-Undang SPPA terhadapnya,” katanya seperti kiriman rilis yang dikirim oleh Humas BNN.
Hal ini, lanjutnya, pernah terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu, dimana seorang pelaku tindak pidana Narkoba usia 14 tahun yang berperan sebagai kurir Narkoba, kasusnya mendapat perlakuan diversi. Darmawel mengatakan bahwa kasus seperti ini perlu diwaspadai para penyidik karena dimungkinkan dapat menjadi modus baru yang digunakan oleh sindikat Narkoba. “Umumnya kurir memang selalu beralasan tidak tahu apa-apa. Penyidik perlu memastikan betul apakah anak yang dijadikan kurir Narkoba itu menyadari perbuatannya atau memang dimanfaatkan oleh sindikat” ujarnya.
Humas BNN Pusat pun mengklarifikasi terkait pertanyaan dari salah satu penyidik Badan Narkotika Nasional Propinsi (BNNP) Sulawesi Barat tentang kekhawatiran bahwa tersangka penyalah guna yang diserahkan ke pihak penuntut umum akan ditempatkan ke rumah tahanan, karena penuntut umum belum memiliki tempat rehabilitasi, Darmawel berpendapat agar solusinya mengacu pada Peraturan Bersama itu sendiri. Dengan dibentuknya TAT dalam Peraturan Bersama dimaksudkan agar ada kerjasama dan koordinasi yang baik di antara penegak hukum. Bila TAT sudah berperan harusnya tidak ada keraguan bagi penyidik BNNP untuk menyerahkan ke penuntut umum. Masalah penuntut umum tidak memiliki tempat rehabilitasi, sepanjang tersangka bukan pengedar maka bisa ditempatkan di Balai Rehabilitasi Baddoka – Makassar. “Saat ini hanya itu jalan keluarnya, karena belum ada rumah sakit yang ditunjuk atau menjadi Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di Sulawesi Barat” tambah Darmawel. (nap)