Infrakstruktur Mandek, Galau Karena Anggaran
Ahok geram, PT JM tak melanjutkan pembangunan proyek senilai Rp15 triliun ini.
Pembangunan infrastrukutur transportasi enggan dibiayai perbankan. Mangkraknya monorel, dugaan korupsi bus TransJakarta memperparah penyediaan transportasi massa yang terintegrasi.

“Hubungan ini (proyek monorel) sudah talak 13,” demikian Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menggambarkan hubungan Pemprov DKI tengah mempersiapkan surat pembatalan untuk dilayangkan kepada PT Jakarta Monorail (PT JM).
Ahok geram lantaran PT JM belum bisa melanjutkan pembangunan proyek senilai Rp15 triliun tersebut. Padahal, tiang pancang sudah tertancam lekat. Dan, Ahok bingung kenapa tak ada bank yang mau memberikan pinjaman. Sementara saat pemerintahan Presiden SBY, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah memberi jaminan kepada PT JM untuk membangun monorel. “Makanya, saya selalu bilang mana duit jaminan 30 persen kamu? PT JM mengelak. Padahal, Bappenas mengizinkan jaminan bank itu boleh 0,5 persen jaminan dari investasi,” terangnya.
Pantun pun berbalas. PT JM merasa ditinggalkan tak tinggal diam. Direktur PT JM, Sukmawati Syukur, mengaku, pihaknya akan menggugat Pemprov DKI Jakarta ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Paris, Perancis selain pengadilan arbitrase nasional Indonesia (BANI). ” Kami ikuti aturan main Pemprov DKI, asal semua aturan itu jelas. Jangan bilang putus tanpa ada penjelasan ke PT JM,” sergahnya.
Sukmawati menambahkan, alasan pembatalan proyek monorel terasa tak masuk akal. Misalnya terkait, pembangunan depo monorel di atas Waduk Setiabudi dianggap membahayakan tanggul. Sukmawati mempertanyakan hal ini lantaran sebelumnya pada tahap pembuatan desain depo monorel di Waduk Setiabudi dan Tanah Abang telah berkoordinasi sebelumnya dengan Pemprov DKI. “Lalu soal investasi. Bappenas hanya minta bukti modal sebesar 1-5 persen dari total investasi. Sementara Pak Ahok minta jaminan 30 persen. Tolong diberitahu aturann jaminan itu dulu dong,” ketusnya.
Alhasil, hingga kini puluhan tiang kokoh itu berjejer di sepanjang Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Menteri Agraria Tata Ruang (ART)/Kepala Badan Pertanahan, Ferry Mursyidan Baldan sampai angkat bicara. Baginya, kehadiran tiang pancang itu membuat tata kota Ibu Kota semerawut.
Ia merasa Pemprov DKI Jakarta harus menentukan sikap soal melanjutkan poyek atau membatalkannya. Dan, bila pada akhirnya batal, maka program monorel sebaiknya ditiadakan. “Kalau tidak jadi, tiang pancang monorel itu lebih baik dibongkar hingga pondasinya karena sangat merusak kecantikan Jakarta. Tapi, harus dipastikan, dalam pemerintahan ke depan jangan meneruskan program monorel lagi,” pintanya.
Menanggapi polemik tersebut, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Edi Nursalam merasa Ahok dalam dilematis. Pasalnya, bila membatalkan proyek monorel oleh PT JM akan digugat serta bisa dikenakan denda. Ia melihat hal ini menjadi preseden buruk. “Sudah dibangun tiang ternyata batal. Saya melihat ini tak serius. Semestinya dirancang jangan sampai gagal. Ini sebagai preseden buruk karena dari awal mengundang investor masuk. Namun setelah masuk, di lain pihak tak mengakomodir permintaan yang diajak tersebut,” tudingnya.
Lantaran tak jelas soal monorel, Ahok pun melontarkan ide pembangunan Light Rapid Transit (LRT). Alasannya, moda transportasi massal ini lebih cocok dengan kondisi Jakarta dengan desain melayang serta konstruksi lebih fleksibel, ketimbang monorel. Apalagi, LRT punya daya angkut lebih besar. Masalahnya, belum ada detail engineering desain (DED) sehingga dipastikan tahun ini tak masuk dalam anggaran APBD.
Namun, dalam draft APBD versi Ahok yang didapat Jakarta Review ternyata LRT sudah masuk sebesar Rp 300 miliar yang digunakan sebagai pembangunan tahap awal LRT melalui mekanisme PMP (Penyertaan Modal Pemerintah). Dana ini masuk dalam pagu anggaran pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta sebesar Rp 1.622.045.546.800. Selain itu, ada pula anggaran pembebasan lahan MRT di Lebak Bulus sebanyak Rp 18 miliar.
Soal anggaran tahun ini yang terkait lekat dengan transportasi massa terlihat pada Dinas Bina Marga, yakni sebanyak Rp 5.341.628.331.638 . Dana tersebut dibagi untuk peningkatan infrastruktur kota mendukung Asian Games 2018 sebanyak Rp 50 miliar.
Ada pula pembangunan kelanjutan TransJakarta seperti pembangunan busway layang pada koridor 11 (Kampung Melayu-Pulo Gebang), koridor 14 (Kalimalang – Tendean), dan koridor 15 (Pasar Minggu – Manggarai) yang masing-masing sebesar Rp 25 miliar. Kemudian biaya peningkatan jalur busway yang dianggarkan sebanyak Rp 50 miliar. Ditambah lagi dengan anggaran perbaikan dan pemeliharaan jalan dan trotoar di seluruh koridor busway sebanyak Rp 30 miliar. Dan, biaya perbaikan sekaligus pemeliharaan trotoar bus TransJakarta seluruh koridor yang tahun ini digelontorkan Rp 400 juta.
Sedikit menelisik biaya pembangunan infrastruktur TransJakarta. Misalnya pada koridor 13 (Ciledug-Tendean) yang masih menyesuaikan perencanaan dan desain yang ditargetkan selesai Maret ini. Pembangunan jalur laying ini ditargetkan selesai tahun depan yang dikerjakan PT Yasa dengan total investasi Rp 2,5 triliun. Rinciannya, Rp 200 miliar sebagai biaya konsultan perencanaan, desain awal dan konsultan manajemen. Sisanya, Rp 2,3 triliun sebagai daa pembangunan fisik. Di dalamnya, terdapat delapan paket pengerjaan dengan 12 halte pada lintasan sepanjang 9,4 kilometer.
Di sisi lain, bank sepertinya enggan dalam membiayai proyek infrastruktur transportasi massa, terlebih yang baru. Perbankan terlihat lebih menyukai mengucurkan kredit terhadap proyek transportasi yang sudah berjalan. Misalnya, empat bank terbesar di Indonesia (Bank Mandiri, BCA, BNI, dan BRI) mau memberikan indikasi pembiayaan kredit kepada PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) persero dan PT KCJ untuk membiayai proyek pengembangan kereta commuter Jabodetabek. Di mana, fasilitas kredit ini terdiri dari pembiayaan Proyek Tahap I maksimal sebesar Rp2,128 triliun dan Tahap II sebesar Rp252,33 miliar. Sementara, pembiayaan kredit ke anak usaha PT KCJ (pengadaan sarana) sebesar Rp660,344 miliar atau 80% dari total biaya untuk penambahan gerbong sebanyak 860 unit gerbong.
Atau, Bank Bukopin akhir tahun lalu menyalurkan pembiayaan senilai Rp40 miliar kepada Perum Damri, untuk pengadaan 30 unit bus baru dalam memerkuat armada transportasi darat di Indonesia.
Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah sendiri menekankan Pemprov DKI Jakarta bakal menambah jumlah armada busway. Sayangnya, atas beberapa kasus persoalan hukum seperti yang menjerat mantan Kepala Dinas Perhubungan Udar Pristono membuat pihaknya berhati-hati. “Ini kan biar bagaimana pun menjadi trauma tersendiri. Ada efeknya. Maka disiasati untuk pengadaan busnya busway itu, kita titipkan dananya di PT Transportasi Jakarta untuk tahun 2015,” katanya kepada Jakarta Review.
Meski begitu, Pemprov DKI Jakarta terus mengundang para investor dalam membangun sistem infrastruktur transportasi massa di Ibukota. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, memastikan belajar dari mangkraknya proyek monorel, maka ia memastikan investor yang akan membangun deep tunnel atau terowongan multiguna di Jakarta harus berjalan hingga selesai. “Sudah ada lima investor. Salah satunya PT Antaredja Mulia Jaya (AMJ). Kami minta PT AMJ melakukan kajian yang mendalam terhadap proyek deep tunnel yang dinamakan Jakarta Integrated Tunnel (JIT) itu. Kalau layak, ya setuju. Why not?,” imbuhnya.
“Tapi kalau tidak menyelesaikannya, mereka asset harus rela diambil alih,” . Toh kita punya duit, punya dana. Kalau mereka di tengah jalan macet, harus diserahkan kepada kita,” pungkasnya seraya menunjuk biaya JIT sepanjang 12 kilometer dari Manggarai hingga bypass Sungai Ciliwung mencapai Rp 29 triliun. (Renold Rinaldi)