Hasan Basri Umar, Si Hypermnesia Pendongkrak Mental
Menghabiskan karir di perusahaan pelabuhan, dirinya terjun sebagai politisi menjelang pensiun. Harapannya bisa memperbaiki Jakarta lewat pembangunan karakter mental.
Jakrev.com – Dalam dunia psikolog ada istilah hypermnesia. Kata tersebut mengacu pada kekuatan daya ingat seseorang yang begitu detail. Kalangan ini biasanya merupakan orang yang pandai, serta punya estetika.
Itu pula yang dirasa Jakarta Review saat bertemu dengan Hasan Umar Basri, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta. Misalnya, lelaki kelahiran Kelahiran Tidore, Halmahera Tengah ketika ditanya sejak kapan merantau ke Jakarta melontarkan jawaban ringkas. “12 Januari 1976,” sebutnya. “Itu perjalan selama sebulan, yaitu 29 hari dari Ternate. Rutenya lewat Bitung-Makassar-Donggala dengan angkut muat barang-Makassar-Surabaya baru sampai Jakarta,”tambahnya.
Kemudian ia hafal betul soal memori lain dalam hidupnya. Termasuk saat di Halmahera awalnya sebagai atlet sepak bola. Ia mengaku menjadi satu-satunya pemain bola di kabupaten Halmahera Tengah sebagai pemain Maluku Selection dalam Pekan Olahraga Daerah (Porda) tahun 1975 yang kala itu melawan Persema Manado.
Selanjutnya, lelaki yang kini duduk sebagai Sekretaris Fraksi Nasdem ini tinggal di rumah sang paman di daerah Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Pekerjaan paman pula di Pelindo (dulu bernama Badan Pengawasan Pelabuhan) yang mengantarkannya ikut dalam perusahaan tersebut.
Ia masuk dalam Divisi Kepanduan Badan Pengawasan Pelabuhan atas rekomendasi sang paman. Tugasnya, sebagai staf pemandu yang mengatur lalu-lintas keluar masuk kapal. “Saat itu saya mulai bekerja pada 1 Februari 1977,” jelasnya memberi bukti detail tanggal sehingga layak dalam kalangan yang disebut psikolog sebagai hypermnesia tersebut.
Sambil bekerja, Hasan pun menyempatkan waktu menimba kuliah pada Universitas Muhammadiyah hingga menyabet gelar sarjana muda (kini disebut Diploma III). Serta aktif pula pada berbagai organisasi, di dalam maupun luar kampus. Ia sempat menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1981-1988), Wakil Ketua Remaja Masjid Jakarta Utara (1983-1987), Wakil Ketua ICMI ORSAT Tanjung Priok (1992-2005), Sekretaris Remaja Masjid Jakarta Utara (1987-1993), dan Wakil Ketua Sepak Takraw Jakarta Utara (1993-1998). “Sampai kasus Priuk tahun 1984 saya sempat bolak-balik dipanggil ke Kodim, padahal saya waktu itu tak ada di tempat,” ceritnya.
Pada 1991, Hasan pindah ke unit peti kemas (Pelindo II) sebagai kepala dinas umum dan tumah tangga. Sayagnya, Pelindo II yang mengoperasikan 12 pelabuhan di delapan provinsi hingga pada 1 April 1999 diprivatisasi perusahaan asal Hongkong bernama Hutchison Port Holdings (HPH).
Hasan bercerita, saat itu perusahaan ditawari memilih apakah ikut dalam jajarang Pelindo sebagai BUMN atau sebagai unit usaha bisnis swasta Hutchison Port Holdings yang kemudian menamakan bisnisnya di Pelindo dengan JICT (Jakarta International Container Terminal). “Karena istri juga kerja di Pelindo, saya pilih berkarir di JICT,” terang suami Suami dari Dwi Setiasih, perempuan berdarah Purworejo.
Soal kerja karirnya pun menanjak. Hasan sebenarnya pada 2012 sudah memasuki masa pensiun Senior Manager General Affair, Security & Environment PT JICT HPH. Namun, ia diminta memperpanjang kerja hingga 1 Oktober 2014 dengan jabatan Advisor Safety, Security & Environment. “Gaji saya waktu itu sekitar Rp 60 juta, jauh lebih besar dari sekarang jadi anggota DPRD yang totalnya cuma Rp 26 juta,” katanya sambil mengurai tawa.
Kepribadian mantan aktivis ICMI ORDa Jakarta Utara ini nyatanya haus ilmu. Pada 1998, dirinya menggondol gelar sarjana hukum dari Universitas Jakarta tahun 1996. Lantas menimba ilmu S-2 Magister Ilmu Adsminitrasi dari STIA Yappan setelah membentengi dengan berbagai kursus seperti bahasa Inggirs di LIA dan Berlitz Languange. Serta pula mendapat pelatihan berbagai keterampilan soal keamanan dan kemaritiman. Bahkan dua kali mendapat platihan di luar negeri tahun 2008, yakni Asean Japan Comunication Exercise di Filipinadan Asian-Japan Drill Exercise di Malaysia.
Terjun Dalam Dunia Politik
Lantaran menjadi aktivis Muhammadiyah, Hasan sempat menjadi kader PAN. Pemilu legislatif 2009, ia mencalonkan diri sebagai caleg DPR RI dari dapil Maluku Utara, namun gagal. “Saya coba mengikuti saran mantan atasan saya Yusni Sofyan(Direktur JICT) yang jadi anggota legislatif di Lampung dari Partai Hanura,” tuturnya.
Pada 2011, Hasan bergabung dalam ormas Nasdem yang kemudian menjadi partai politik. Ia lantas ditunjuk sebagai Ketua DPD Partai Nasdem Jakarta Utara, sehingga mencalonkan diri sebagai anggota dewan di Kebon Sirih. “Saya mendapat suara murni sebanyak 7.776. Lalu, digabung suara lain karena menggunakan sistem terbanyak menjadi 24.084,” imbuh Penasehat Jaringan Warga Jakarta Utara periode 2006-2011.
Ketika ditanya kiatnya dalam mendulang suara, Hasan mengaku tak mengurai rayuan janji kampanye. “Saya hanya bilang ingin memperbaiki Jakarta. Karena saya ketua RT selama 20 tahun spanduk saya tulis Ayo Mari Kita Memilih Ketua RT Jadi Anggota DPRD,” akunya mendapat sambutan lumayan besar dari warga dan ketua RT lalu di sekitar tempat tinggalnya kelurahan Kebon Bawang yang punya 18 RT, dan mengumpulkan 4.163 suara di daerah tersebut.
Alhasil, kini Hasan menjadi satu dari lima kader Partai Nasdem yang terpilih sebagai anggota DPRD DKI Jakarta. Tugasnya kini, ingin fokus melakukan pengesahan 17 Perda yang ditargetkan tahun ini.
Di dapilnya, Hasan berhasrat membangun kali swasembada yang melintasi kelurahan Sungai Bambu dan Kebun Bawang. Daerah itu, menurutnya, selalu banjir karena kali meluap akibat kali yang awalnya lebarnya 5 meter menjadi pendek 1,5 meter dipenuhi rumah penduduk. “Memang bantaran kali harus dibersihkan dari pemukiman liar. Dan, kalau kali dibangun makan kemungkinan besar akan dibangun jalan inspeksi,” sebut mantan Bendahara SOKSI Jakarta Utara ini.
Dalam komisi E yang membidangi kesejahteraan rakyat, dirinya pun berharap bisa membenahi kesemerawutan. “Misalnya soal BPJS, saya usul saat rapat dengan SKPD dan RSUD agar tiap rumah sakit ada punya papan informasi soal ada atau tidaknya jumlah kamar perawatan,” katanya.” Tapi itu dianggap tidak bisa karena kalau diberitahu satu kamar kosong, maka sudah ada 40 orang yang akan antri. Memang sekarang karena BPJS orang sakit sedikit lalu masuk rumah sakit,” kritiknya.
Atas masalah itu, anggota Dewan Penasehat Mustafad Jam’iyyah Ahli Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia (JATMI) ini meminta kepada direktur rumah sakit dan satuan Dinas Kesehatan Pemprov DI Jakarta memberikan sanksi bila ada oknum melanggar ketentuan, khususnya soal penolakan terhadap pasien BPJS atau KJS. Ia turut pula mendukung 18 puskemas kecamatan sehingga sebelum ke rumah sakit sudah ada rujukan terlebih dulu.
“Pelayanan BPJS sebaiknya tiap kecamatan. Di Jakarta Utara hanya ada rumah sakit Koja, meski akan dibangun 1000 tambahan tempat tidur tapi saya rasa tak bisa menampung semua. Jadi sebelum ke rumah sakit lewat Puskemas yang juga punya perawatan. Tidak semua langsung dirawat di rumah sakit,” terangya.
Hal lainnya, Hasan meminta pemmerintah agar aktif menyosialisasikan soal keluarga berencana (KB). “Dulu publikasinya luar biasa. Harus diperbanyak sosialisasinya. Sekarang sosialisasi AIDS ini kurang, malah banyak dilakukan kalangan swasta,” pungkasnya.
Memperbaiki Mental
Sebagai Ketua Senam Jantung Sehat Hasan Basri Umar minimal tiga kali menyambangi Gelanggang Olahraga Remaja (GOR) Jakarta Utara, yang letaknya bersebelahan dengan kantor walikota Jakarta Utara. “Senin, Rabu, dan Sabtu jadwal senam sehat, tapi saya hamper tiap hari ke GOR,” akunya.
Hanya saja, Hasan kali ini dikagetkan dengan aksi penerapan parkir berbayar yang dihitung per jam. Seketika dirinya berang merasa aturan ini mengekang, bahkan menutup akses masyarakat untuk masuk sekadar berolahraga.”GOR itu sudah berumur 43 tahun yang dibangun pak Ali Sadikin. Jadi tidak perlu biaya lagi untuk mengembalikan modal pembangunannya dulu. Retribusi parkir berbau komersil itu saya rasa kurang cerdas karena pengunjung GOR kebanyakan masyrakat yang mau berolahraga atau aktifitas seni. Jadi itu menutup akses orang masuk,” jelasnya.
Ia menganjurkan, pihak terkait agar mebentuk upaya komersial di sekitar GOR dengan cara tepat seperti membangun gedung tambahan sebagai penyewaan gedung pernikahan. Cara itu lebih elegan ketimbang membenani wilayah publik dengan retibusi kelewat mahal. “Berenang di GOR saja Rp 4100, bisa lebih mahal biaya parkirnya,” tunjuknya.
Selain itu, Hasan juga merasa parkir truk kontainer di sebelah kantor Walikota Jakarta Utara tak sesuai peruntukkan. Sebab, kawasan di Jalan Yos Sudarso itu seharusnya bagi perkantoran, sementara parkir truk container di tempatkan di pinggir Jakarta seperti Cakung, Cilincing atau Marunda. “Kalau truk kontainer banyak di daerah perkantoran tentu bisa bikin tambah macet. Dan tentunya jalan cepat rusak. Saya sudah bilang sama walikota tanggal 30 Desember lalu,” sebutnya.
Hasan tak habis pikir bagaimana tempat peruntukkan semacam itu dengan mudahnya dilanggar. Seperti menjamurnya minimarket, Hasan miris karena terlalu ramai dan tak taat aturan. “Ini karena ijin dari oknum Pemda. Jadi harus diperbaiki karena minimarket tidak boleh kurang dari 50 meter dengan pasar tradisional. Tapi memperbaiki pasar tradisional juga sulit. Mengajak pedagang yang berjualan di tepi jalan untuk berdagang di dalam area pasar itu saja luar biasa susa. Jadi mentalnya yang perlu diperbaiki,” sergah ayah tiga anak ini.
Karena itu, dalam membangun Jakarta, Hasan juga mengapresiasi visi misa sang gubenur. Ahok, lanjut pengidola Surya Paloh ini punya niat baik dalam menuntaskan pembangunan Ibu Kota yang selama ini terkesan amburadul. “Pak Ahok harus bisa memperbaiki mental PNS atau birokrat. Memang sulit merubah mental memang sulit,” sergah lelaki yang pernah menjabat Dewan Pembina Gerakan Nasional anti Narkoba dan Tawuran DKI Jakarta ini. (Ranap Simanjuntak)