Johan Musyawa (DPRD PAN): “Ahok Luar Biasa Tapi Nggak Punya Etika”
Jakrev.com – Jakarta – Pelataran pagar rumah di jalan PLK 2 No 41 itu ditempeli bel pintu klontong sapi (lempeng kuning yang bila digoyangkan akan berbunyi). Di teras rumah terparkir Honda Jazz berwarna silver yang disampingnya tertata bangku guna menjamu tamu yang hadir. “Kalau ada tamu tinggal goyang-goyang belnya. Di sini saya memang saya tiap malam menerima warga,” ungkap Johan Musyawa, anggota DPRD Fraksi PAN yang juga rangkap jabatan sebagai Ketua RW 01 Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
Kamis malam, akhir September 2014 ditemui Ranap Simanjuntak dan fotografer Makmun dari Jakarta Review, Johan memang sibuk menerima warga dari mulai mengurus KTP, akte kelahiran, hingga rencana program kampung. Padahal, anggota dewan yang terpilih dari dapil DKI Jakarta 6 yang meliputi empat kecamatan: Cipayung, Ciracas, Makasar dan Pasar Rebo ini dari pagi hingga petang sudah berkantor di Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Johan sendiri, lahir dan tumbuh di Brebes. Lelaki berusia 53 tahun ini mengaku sebagai anak kepala desa sekaligus tokoh pergerakan fisik jaman kolonial sehingga mewarisi sifat kepemimpinan dari ayahnya. Sewaktu kulian di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta ia sudah aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Baru kemudian, pada 1986 dirinya hijrah ke Jakarta guna mengadu nasib. Tapi tak dinyana, setelah melewati perjalanan melewati kesusahan dirinya yang luwes bergaul pun dipercayakan menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT), Ketua Rukum Warga (RW), hingga pernah pula sejak 2003 menjadiKetua Dewan Kelurahan (Dekkel).
Ketika reformasi bergulir pilihan hatinya berlabuh pada PAN, partai yang dibidani Amien Rais. “Saya memang pengangum Pak Amien Rais,” katanya. Karena itu, Johan menjadi salah satu deklarator pendiri PAN sehingga membuatnya ditunjuk menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Ketua Dewan Makasar.
Ayah dua anak (Randy Musashi dan Risyanti Amalia) ini berharap bisa membawa perbaikan kesejahteraan lewat perjuangannya menjadi anggota DPRD DKI Jakarta, meski partainya hanya mendapatkan jatah dua kursi. Ia mengaku, ingin duduk di Komisi E yang membidangi soal pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Lantas bagaimana pandangannya sebagai bagian dari anggota DPRD yang baru terpilih? Simak pemikirannya:
Menjadi wakil rakyat Jakarta, apa tujuan Anda?
Saya sebenarnya ingin berjuang buat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Banyak orang masih menghasilkan pendapatan terbatas, sementara kebutuhan tidak terbatas. Karena terlalu sibuk mencari uang maka lupa mengurus anak, sampai lupa memandikan anak. Ya bisa dibilang kurang merawat anak sehingga anak salah jalan sampai tawuran.
Ada pendidikan di sekolah ada juga pendidikan di lingkungan dan keluarga. Kalau orang tua kerja keras tapi penghasilannya masih pas-pasan maka anak kurang dipedulikan. Saya ingin menghidupkan penambahan kesejahteraan sekaligus perhatian buat keluarga.
Apa sih rasanya ketika Anda menjadi anggota dewan?
Ini baru satu bulan. Kebetulan dari pertama masuk hanya membahas tatib (tata tertib) di DPRD Jakarta maka hanya merasakan itu. Yang lain belum dibahas. Masing-masing fraksi menyusun anggotanya untuk duduk di komisi mana saja. Baru sampai sejauh itu.
Lalu pembagian ruangan. PAN sendiri termasuk lama menentukan pilihan bergabung dalam fraksi apa. Karena banyak yang menarik sana-sini dan akhirnya bergabung dengan Partai Demokrat menjadi Fraksi Depan (Demkorat dan PAN). Apalagi, susunan pimpinan DPRD DKI Jakarta tergolong lama waktunya. Jadi saya banyak mengurus soal ini.
Soal demonstrasi menentang Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta seperti yang dilakukan FPI (Front Pembela Islam) apa tanggapan Anda?
Secara pribadi saya mengacungi jempol Ahok karena pekerjaannya bagus, cerdas, dan berani. Tapi dia punya kelemahan tidak punya tata karma dan tidak punya sopan satun yang menjadi cirri khas orang Timur. Dimana langit dijunjung disitu bumi dipijak itu termasuk tata karma, sopan santun, adat, dan etika itu harus dijaga. Apalagi, dia seorang pimpinan. Itu saja kelemahan Ahok. Kalau kerjanya sudah luar biasa.
Tapi sekarang ini seperti ada pergeseran nilai. Banyak orang ingin melanggar konstitusi. Misalnya Ahok diterpa isu SARA, padahal dia sendiri sah menjadi Gubernur DKI Jakarta lantaran Jokowi mengundurkan diri. Ini fenomena apa sebenarnya?
Ya memang saya akui, Ahok memang aturannya sah menjadi gubernur. Tapi politik itu kan abu-abu. Kalau kepentingan terganjal maka ia akan bertindak. Itu sah-sah saja.
Menurut Anda demo anti Ahok itu ada yang menunggangi?
Saya tidak tahu. Soalnya pas demo saya tidak keluar sih. Masyarakat juga sudah tahu kalau Ahok nanti dialonkan jadi Menteri Dalam Negeri. Jadi wakilnya ini yang nanti akan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kalau ada yang demo ya sah-sah saja karena demokrasi seperti itu.
Lantas apa pandangan Anda soal adanya Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang digulirkan Jokowi untuk wilayah Jakarta beserta kehadiran BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan)? Apakah dua hal ini tak rancu atau tumpang tindih?
Kalau BPJS itu kan tingkat nasional. Semua bisa dipakai. Jadi tidak rancu. Kalau BPJS seringkali terdengar ada masalah itu hanya karena SDM (sumber daya manusia) yang masih kurang. Puskemas juga sudah menerima. Dan, rumah sakit juga menerima kartu apa saja, baik itu BPJS Kesehatan atau KJS.
Bukankah kalau ada keduanya ini mubazir?
Kan ada aturan kalau sudah pakai salah satu kartu maka tidak boleh pakai kartu lainnya. Meskipun ada dua sumber tapi tetap saja tidak akan bisa dimanfaatkan dua-duanya oleh satu orang. Bedanya KJS hanya berlaku di Jakarta saja.
Masyarakat Jakarta saat ini lebih dekat dengan pusat kesehatan seperti rumah sakit dibandingkan dengan tempat lain. Menurut apa yang mesti diperbaiki dalam bidang kesehatan ini?
Jadi begini. Tiap Puskesmas di Jakarta saat ini sudah mulai ditingkatkan pelayanan serta lainnya seperti ada Puskesmas buka 24 jam. Saya melihat sendiri soal kesehatan ini di Jakarta ada egois yang tinggi. Kadang ada tetangga yang sakit malah dibiarkan atau cuek. Individualisme ini masih melekat di warga Jakarta. Saya kadang-kadang sampai marah kalau ada warga di sebelahnya tidak tahu kalau tetangganya itu sakit atau tidak bisa makan. Di sisi lain memang tak bisa disalahkan karena punya kesibukan.
Lalu soal pendidikan. Belum lama ini penambahan dana Kartu Jakarta Pintar (KJP) dalam APBD Perubahan ditolak DPRD Jakarta karena adanya temuan BPK adanya penyalahgunaan seperti 9.006 penerima KJP ganda. Apa tanggapannya?
Ini sebenarnya awalnya dari masyarakat. Laporan rincian dalam bantuan pendidikan itu tidak dilaporkan. Memang masyrakat sendiri kurang mengerti membuat laporan dalam form. Karenanya, kebanyakan masayarakat banyak yang tidak melaporkan. Akhirnya dalam pemeriksaaan didapatkan seperti mengarang atau menghayal.
Soal adanya temuan BPK itu saya no comment. Tapi hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan hasil Wajar dengan catatan. Ini berarti memang perlu adanya perbaikan.