Muhammad Sanusi (Ketua Fraksi D), Upaya Memanusiakan Manusia Sebagai Asset
Menjadi wakil rakyat, ia memberi ruang komunikasi dua arah. Rakyat ia tempatkan sebagai bahan investasi yang butuh dijaga. Di sisi lain, ia mengkritisi Ahok meski merasa bukan oposisi.
Visi, interaksi, dan asset. Demikian tiga kata yang menggeliatkan perjuangan politik sekaligus bisnis Muhammad Sanusi. Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta ini selalu menempatkan masyarakat, khususnya sebagai konsituen sebagai asset, bukan obyek.
“Kalau masyarakat dijadikan obyek maka selesai setelah jadi. Kalau saya menyatakan masyarakat atau konstituen itu sebagai asset maka akan memunculkan sense of belonging. Berbeda kalau dijadikan obyek,” ungkapnya kepada Jakarta Review.
Dengan begitu, Uci—begitu ia biasa disapa—selalu menyempatkan waktu menjalin komunikasi dengan masyarakat. Tujuannya membangun secara emosional. “Karena menempatkan sebagai asset, saya selalu melakukan
maintenance dengan masyarakat lewat komunikasi langsung sehingga tercipta hubungan emosi secara erat,” sebutnya.
Lelaki kelahiran Jakarta, 4 Juli 1970 ini pun membentuk sarana advokasi sekaligus bantuan kepada kalangan tak mampu dikenal dengan nama Muhammad Sanusi Center (MSC), meski awalnya bernama Metropolitan Studi Center. Komunikasi yang dijalin politisi Partai Gerindra ini tak sebatas pada wacana, melainkan memberikan bantuan akses layanan kesehatan, pendidikan dan administrasi kependudukan.
Bukan itu saja, Uci lewat MSC juga membantu kepengurusan akta lahir di Jakarta yang angkanya mencapai ratusan. Ada pula sidang itsbath nikah dan nikah massal. Serta membangun kompetensi keterampilan lewat kurus Bahasa Inggris gratis pada tiap kecamatan dengan menjalin kerja sama dengan mahasiswa. “Ada juga pelatihan pemberdayaan masyarakat lainnya seperti mengoperasikan sistem komputer berbasis Autocad,” tambah suami dari Naomi Shalima ini.
“Dulu saya pendiri Partai Demokrat, saya sejak tahun 90-an sudah keliling membesarkan Pak SBY. Pada 2004 saya tidak caleg karena mendapat dua pilihan bisnis atau politik sehingga saya waktu itu pilih bisnis.
Mulai bisnis sejak 1999 hingga 2009, saya ingin menerapkan dalam dunia politik. Tidak ada kesulitan dalam dunia politik karena politik sebenarnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bedanya kalau politik itu assetnya manusia yang notabene benda hidup. Sementara asset bisnis itu biasanya barang atau benda mati. Tentu lebih sulit mengendalikan benda hidup atau manusia yang terus bergerak. Jadi harus ada cara tersendiri. Tapi kalau menjadikan manusia sebagai objek kita tak pernah tahu keinginan mereka,” akunya
***
Uci dalam bekerja mengaku tak mau terkoptasi dengan uang semata. Ia selalu menempatkan visi sebagai bagian terdepan. Modal menurutnya bukanlah gelontoran dana, melainkan kemampuan mengelola visi dengan kerja keras sehingga menghasilkan kepercayaan. Karena itu, sedari kecil hidupnya tak manja, meski orang tuanya termasuk kalangan berpenghasilan mapan.
Lahir dan menghabiskan sebagian hidup di Ibu Kota, Uci yang merupakan anak kedelapan dari seorang tokoh Partai Golkar semasa duduk di bangku SMPN 95 Jakarta tak malu menjadi penunggu telepon di studio radio swasta bernama Kencana Bahari yang dikelola ayahnya. Begitu sekolah di SMAN 15 Jakarta ia rangkap jabatan sebagai penunggu telepon sekaligus menjadi penyiar dengan gaji Rp 30.000 per bulan.
Kemudian mengenyam pendidikan pada fakultas Teknik Sipil di Institut Sains dan Teknik Nasional (ISTN) Jakarta, jiwa aktivisnya bergerilya. Uci bergabung dengan berbagai organisasi kemahasiswaan. Dirinya pernah menjadi Ketua Angkatan 89 Mahasiswa Teknik Sipil ISTN, Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil ISTN (1990), Ketua Senat ISTN (1988), Ketua Komunikasi Mahasiswa Teknik Sipil Seluruh Indonesia Regional Wilayah Jabotabek dan Lampung. Bahkan, nimbrung sebagai Ketua Bidang Poltik KNPI DKI Jakarta (2002). Tak ayal, ia sering pulang malam.
Selain itu, bisa dibilang, Uci kental mengenal berbagai karakter masyrakat Jakarta dari lima penjuru. Alasannya, masa kecilnya di Jakarta Utara, kemudian kuliah di kawasan Jakarta Selatan, dan saat ini tinggal di Jakarta Barat. Sementara menjadi anggota dewan yang terpilih dari Jakarta Timur
pada empat kecamatan; Cirasas, Pasar Rebo, Makassar, dan Cipayung. Serta pula pernah bekerja di Tanah Abang, Jakarta Pusat sebagai penasehat Asosiasi Pedagang Tanah Abang yang terbakar tahun 2004 sekaligus Direktur Marketing Citicon Mitra Tanah Abang.
Dalam belantara politik, Uci terbilang sudah matang. Sejak 1999, dirinya pernah bergabung dengan Partai Kesatuan dan Persatuan (PKP) bentukan Edi Sudrajat. Ia pun tercatat sebagai salah orang membidani lahirnya Partai Demokrat pada 2002. “Saya termasuk penndiri Partai Demokrat dan berjuang memperkenalkan Pak SBY,” klaimnya. “Tapi pada pemilu 2004, saya tidak nyaleg karena memilih membesarkan bisnis,” sergahnya.
Pada 2009, kali pertama Uci ikut bertarung dalam pemilu legislatif. Awalnya ia menjadi caleg Partai Demokrat dari dapil Jakarta Barat, namun urung lantaran diminta kakak sulungnya Muhammad Taufik membesarkan Partai Gerindra. Uci lantas menjadi caleg Partai Gerindra dari dapil Jakarta Timur dan berhasil melangkah ke Kebon Sirih. Kalau itu, ia dipercaya menjadi Ketua Fraksi Partai Gerindra.
Kini sebagai Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Uci turut menuntaskan 17 rancangan Peraturan Daerah (Perda) yang ditargetkan selesai tahun ini. Di komisi sendiri, ia memperhatikan soal Perda Ruang Atas dan Ruang Bawah. “Kalau ada Perda maka asset akan bernilai,” tuturnya.
Uci mengkritisi aturan ini lantaran sejauh ini pengelolaan ruang bawah dan atas belum maksimal. Sejauh ini hanya ada peraturan gubernur yang mengatur ruang bawah hingga 8 meter. Sementara proyek MRT hingga 40 meter ke bawah. “Jadi di bawah akan terkoneksi dengan pihak swasta. Pertanyaannya, punya siapa koneksi tersebut? Inilah nanti yang akan dirumuskan,” terang pebisnis properti yang bernaung dalam unit usaha Citicon tersebut.
“Kalau ada Perda maka asset akan bernilai. Misalnya Perda Ruang Atas saat membangun jalan tol fly over, maka ruang atas bisa dimanfaatkan misalnya penyewaan meskipun nanti bisa saja masuk dalam penyertaan modal,” imbuh lelaki yang suka main golf ini.
Di sisi lain, Uci juga mengkritisi langkah kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang terlalu cepat, tanpa mempersiapkan aturan sebagai legal aspek. “Akselerasi Pak Ahok itu kecepetan, sementara di bawah belum mengikuti,” sebutnya.
Ia memberi contoh dalam pembuatan kampung deret merupakan bantuan sosial kepada rakyat tak mampu dalam penyediaan rumah yang tinggal di bantaran kali. Masalahnya, warga yang akan dibantu tersebut kebanyakan tinggal pada lahan milik negara atau tanah sengketa. BPK pada 2013 sendiri mengeluarkan audit program tersebut disinyalir bermasalah.
Hal ini menjadi polemik. Di satu sisi membantu rakyat miskin yang selama ini tinggal lahan sengketa milik negara, sementara di sisi lain bila diberi bantuan bisa dicap melegalisasi tinggal pada tanah negara yang berarti melanggar hukum. “Lalu siapa yang mau menjalankan? Jadi sebaiknya persiapkan dulu infrastruktur legal aspeknya atau dudukkan dengan aparat hukum secara bersama tentang persepsi ini,” saran Uci.
Bila tercapai kesepakatan dengan aparat hukum soal sistem bantuan tersebut, lanjutnya, maka bantuan kepada masyarakat miskin bisa berjalan. “Ini bukan melegalisasi kesalahan tapi membuat kesepahaman bersama agar program bisa berjalan,” gumamnya. “Pada akhirnya bisa membentuk mental keberanian misalnya kepada SKPD yang menjalankan. Jangan langsung mengeluarkan pernyataan seperti tangkap saja. Karena psikologi mental juga berperan besar dalam menjalankan pembangunan,” Uci mengingatkan.
Meski sering mengkritisi langkah Pemprov DKI Jakarta, Uci tak merasa sebagai oposisi, melainkan bagian dalam menuju proses pembangunan yang berkeadilan. “Saya tak merasa sebagai oposisi. DPRD itu bagian dari pemerintah daerah,” pungkasnya.
Mengkritisi Jalur Cepat Ahok
Berbagai cara dimunculkan dalam mengangani benang kusut ruwetnya kemacetan di Ibu Kota. Lontaran pernyataan paling anyar dikeluarkan dari bibir Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dengan menelurkan konsep Light Rail Transit (LRT). Cara ini sebagai pengganti proyek monorel yang terus mangkrak.
DPRD DKI Jakarta sendiri lantas tak memberi restu proyek ini terealisasi tahun ini. DPRD mempertanyakan kesiapan rencana proyek Pemprov DKI yang ingin langsung menganggarkan proyek dengan nilai lebih dari Rp7 Triliun tersebut. Sehingga Pemprov DKI Jakarta hanya diberi ijin mengelola anggaran Rp 1 miliar demi memperdalam kajian LRT tersebut.
Muhammad Sanusi, sebagai pemimpin Komisi D yang membidangi langsung soal infrastrukur menyikapi hal tersebut sebagai keinginan Ahok yang terburu-buru. Seharusnya bila ingin dianggarkan dari APBD, sudah kajian seperti detail engineering design (DED) kemudian dirumuskan dalam dewan. Ia menilai penanganan kemacetan juga harus berkesinambungan dengan moda transportasi lainnya. “Sekarang berkembang LRT. Melihat ini sebenarnya seharusnya perencanaan pembangun itu komperehensif dan terintegrasi. Ada TOD (transit oriented development) sebagai tempat berkumpulnya beberapa moda transportasi massa,” paparnya.
Uci juga menyikapi LRT belum ada detail tata ruang sehingga bisa bermasalah seperti pembangunan monorel. Ahok, ketusnya harus menahan diri menyikapi LRT agar tak menuai kesalahan yang sama. Misalnya dibuatkan dulu soal Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), DED, sistem seperti PSO (Public Service Obligation) dari pengoperasionalan LRT.
Beberapa kebijakan Ahok, seperti pembatasan motor parkir, atau ERP tak sesuai RPJMD yang digagas Jokowi selama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sebab, menurut Uci, hal tersebut merupakan termasuk kategori manajemen traffic yang menjadi bagian ketiga dari penanganan kemacetan. “Yang pertama itu meningkatkan moda transportasi massa. Kemudian meningkatkan road ratio (perbandingan luas jalan dengan jumlah luas kota) kita yang hanya di bawah 1 %. Baru ketiga manajemen traffic. Artinya pembenahan transportasi massa yang paling utama,” imbuhnya.
Uci merasa tugas utama membentuk transporasi aman, nyaman, murah serta terkoneksi. “Orang Jakarta sebenarnya bukan mau cepat-cepat, tapi sebenarnya karena belum ada kepastian berapa lama perjalannya. Jam berapa busway datang dengan tiket one way one ticket. Ini SOP-nya belum tercapai,” sergahnya.
“Sebenarnya tidak perlu membatasi penggunaan motor, tidak perlu membatasi subsidi BBM. Cara terbaik adalah memperbaiki transportasi massa yang kalau sudah bagus dengan sendirinya membuat pengguna kendaraan pribadi akan pindah,” saran Uci.
Namun Ahok tetap ngotot menjalankan proyek LRT yang mirip kereta api hanya bisa naik turun. Caranya lewat kerja sama dengan daerah mitra dan dana dari kewajiban 20 persen Koefisien Luas Bangun (KLB) para pengembang. Bahkan, proyek ini bisa tercapai sebelum Asian Games yang digelar pada 2018 mendatang dengan rute dari pesisir pesisi utara, Kota Tangerang – Bandara Soekarno Hatta – Ancol – PRJ Kemayoran – Pulogadung – Bekasi. Namun Uci kembali mempertanyakan niat Ahok yang ingin menggandeng para pelaku bisnis properti. “Harus jelasnya dulu apakah keuntungan buat develover. Apakah ini juga masuk dana CSR atau dana hibah. Sebab, kompensasi dana dari swasta juga perlu audit karena termasuk dalam PNBP,” tegasnya. “Jadi harus linci legal aspeknya. Jangan membuat kekhawatiran di bawahnya,” Uci menutup pembicaraan. (Ranap Simanjuntak/Windarto/Edisi 7 Majalah Review Februari 2015)