Ada ide yang menurut saya ‘gila’ dan sudah basi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-barumelontarkan ide menghapus bagi hasil keuntungan atau dividen bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Padahal, ide ini pernah dilontarkan Menteri BUMN Dahlan Iskan namun akhirnya ditolak Menteri Perekonomian Hatta Rajasa.
Memang bukan Jokowi yang berbicara, melainkan lewat pinjam suara Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil. “Jika mungkin, BUMN itu tidak ada dividen. Supaya BUMN itu bisa berkembang cepat untuk melakukan berbagai program-program pembangunan infrastuktur dan lain-lain,” kata Sofyan yang baru saja bertemu presiden 3 Desember lalu.
Seperti atas arahan presiden, Menteri Perekonomian ini mengusulkan tak ada pembagian dividen agar BUMN bisa melakukan investasi buat banyak di infrastruktur. Bahkan, gilanya lagi, pemerintah akan terus mendapat suntikan modal dari pemerintah. Modal ini dianggap bisa untuk mendorong BUMN menjadi ujung tombak pembangunan dalam negeri.
Saya bilang ini bisa ngawur. Gawat kalau polesi Jokowi mau ‘genjot BUMN’ agar berkembang, tapi justru mengkaji penghapusan dividen kepada negara. Padahal negara setor modalnya ke BUMN dalam jumlah besar, ribuan trilun rupiah.
Aneh bin ajaib. Lalu, laba BUMN yang triliunan itu buat siapa? Kalau tidak malah tidak. Harusnya justru untuk ikut setor dalam penyehatan APBN yang masih defisit. Dan, utang negara terus bertambah ratusan triliun tiap tahunnya? Apa ini untuk dikantongi penguasa dan direksi BUMN-nya?
Seharusnya pemerintah bisa berpikir jernih. Setoran dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke kas negara, dianggap masih terlalu kecil dibandingkan potensi yang seharusnya bisa diterima negara. Padahal negara selama ini menyuntikan banyak uang ke perusahaan pelat merah dalam rangka penyelamatan atau penambahan modal. Dan, pengeluaran negara yang tidak sedikit itu sudah selayaknya pemerintah menerima kembali hasil dari BUMN setiap tahunnya.
Dengan alasan ini, usulan untuk menyetop setoran dividen BUMN ke kas negara hanya konsep mengada-ada. Sebab, saya tegaskan lagi, negara sudah mengeluarkan puluhan hingga ratusan triliun untuk BUMN, belum lagi banyaknya keistimewaan yang diperolehnya. Tapi yang diterima kembali lewat dividen saat ini hanya Rp 35 triliunan saja. Ini jelas nggak sebanding
Coba bila dibandingkan penerimaan negara dari dividen 141 BUMN yang sebesar Rp 35 triliun tersebut. Nialainya masih sangat jauh dengan besaran yang diterima negara dari pabrik rokok misalnya. Pendapatan negara dari cukai rokok yang disetor pabrik rokok skala besar itu bisa mencapai lebih Rp 100 triliun setahun.
Rakyat terus mau dibodohi dengan para pejabat negara berpenampilan sumakersugih macak kere. Kita rakayat memang mau dibodohi. Merah putih belum Merdeka! Garuda di dada tiada arti lagi buat rakyat. Merdeka hanya buat mereka? Patut diduga, dividen BUMN mau digenjot targetnya untuk dikorupsi. Wasapadalah KPK!
Publik sudah jenuh dengan suguhan korupsi serta tambahan ‘embel-embel’ gratifikasi dari petinggi BUMN. Data Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2011, terdapat 34 kasus korupsi yang melibatkan perusahaan BUMN dan BUMD dengan potensi kerugian negara Rp733,27 miliar. Sementara, pada 2012 ada 24 kasus dengan potensi kerugian negara mencapai Rp74,34 miliar.
Tapik tak seperti belajar dari kesalahan. ICW dalam hari kemerdekaan di bulan Agustus lalu menjabarkan hasil riset, kalau dampak kasus korupsi selama paruh pertama tahun ini, Indonesia mengalami kerugian negara sebesar Rp3,7 triliun. Modus korupsi yang paling banyak dipakai selama 2014 yaitu penyalahgunaan anggaran, dengan 71 kasus (23,05 persen), penggelapan dengan 71 kasus (23,05 persen), dan laporan fiktif sekitar 66 kasus (21,42 persen).
Modus lainnya adalah mark up (penggelembungan) pendanaan, penyalahgunaan wewenang, pemotongan anggaran, kegiatan proyek fiktif, suap atau gratifikasi, pungutan liar dan anggaran ganda. Tama S Langkun Ketua Divisi Investigasi ICW menyebut jabatan teratas yang tersangkut kasus korupsi adalah kalangan pejabat negara.
Rinciannya, pejabat atau pegawai pemda/kementerian (281 tersangka) atau 42,6 persen. Kedua, kalangan direktur/komisaris/konsultan/pegawai swasta (125 tersangka) atau 18,9 persen. Ketiga, kepala dinas tercatat 8,6 persen dengan 57 tersangka. Keempat, anggota legislatif baik pusat dan daerah dengan nilai 7,5 persen atau ada 50 tersangka. Kelima, yang cukup mengkhawatirkan, yakni para direktur/komisaris/pejabat pegawai BUMN atau BUMD yang bisa membui 34 tersangka atau sebanyak 5,1 persen.
Nah, menyimak data-data kasus korupsi yang melibatkan BUMN tersebut, tentu saja membuat kita prihatin. Terlebih, pernah ada upaya dari Forum Hukum BUMN dan Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia untuk melakukan uji materi terhadap UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK).
Inilah terbukanya potensi kejahatan moral (moral hazard) yang membayangi gugatan pemisahan BUMN dengan kekayaan negara. Gugatan bisa dipastikan bakal menimbulkan lebih banyak kerugian ketimbang manfaatnya. Klaim profesionalisme dan keleluasaan mengembangkan bisnis tidak meyakinkan ketimbang potensi moral hazard yang terbuka lebar.
Jadi, hematnya jangan memberi celah korupsi. BUMN sudah diberi keistimewaan, diberi modal, dan diberi kewenangan sudah harus bisa bersaing. Jangan pula malah membuat celah untuk mengeruk kekayaan sendiri atau golongan. Kesenjangan masih besar, bantuan dari pemerintah untuk rakyat kecil bisa juga dari sumbangan BUMN yang sudah dikasih ‘banyak’.
*) Penulis adalah Ketua Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN)