EKONOMI

Polinet Serahkan Policy Brief Bahaya Depo Pertamina Makassar ke Sejumlah Kementerian  

Public Policy Network (Polinet) menyerahkan laporan hasil riset dalam bentuk policy brief ke beberapa pihak atau stakeholder terkait dengan PT Pertamina (Persero) pada Selasa, 18 Juli 2023. (dok: Polinet)

Jakarta Review, Jakarta – Usai menyoroti dan melakukan eskpose hasil riset yang dilakukan oleh Public Policy Network (Polinet) terkait dugaan adanya potensi ancaman dan bahaya dari Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) yang mengancam keselamatan warga Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar milik Pertamina, Polinet kini telah menyerahkan naskah policy brief ke beberapa pihak.

Direktur Polinet, Rizal Fauzi mengatakan jika lembaganya tersebut telah menyerahkan laporan hasil riset dalam bentuk policy brief ke beberapa pihak atau stakeholder terkait dengan PT Pertamina (Persero) pada Selasa, 18 Juli 2023 kemarin.

“Jadi, kemarin rekan-rekan di Jakarta sudahmenyerahkan surat dan policy brief dari kami kepada pihak-pihak terkait,” ucap Rizal dalam keteranganya, dikutip Kamis 20 Juli.

Beberapa instansi yang dimaksud adalah Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM), Direktorat Jenderal (Ditjend) Minyak dan Gas (Migas) ESDM, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Ombudsman RI, Direktur Utama (Dirut) PT. Pertamina Persero dan Dirut Pertamina Patra Niaga.

Selanjutnya, policy brief juga akan diserahkan kepada Komisi VII DPR RI, Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Provinsi Sulsel dan DPRD Kota Makassar serta DPRD Sulsel sebagai bahan bagi pihak-pihak terkait.

Rizal mengungkapkan, jika policy brief yang berdasarkan riset yang dilakukan oleh Polinet tersebut berisikan analisis keberadaan Depo Pertamina menggunakan pendekatan Environmental, Social and Governance (ESG).

Dalam risetnya itu, Direktur Polinet Rizal Fauzi mengatakan, Depo Pertamina atau Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Makassar itu dianggap tidak memenuhi standar keselamatan umum serta berisiko dapat mengorbankan warga sekitar.

Kondisi ini tidak sesuai dengan standar acuan Pertamina yang merujuk pada American Petroleum Institute (API) dengan jarak minimum 60 meter dan National Fire Protection Association (NFPA) yang menetapkan jarak minimum 122 meter.

Jarak ini juga tidak sesuai dengan ketentuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Keputusan Direktur Jenderal ESDM No 309.K/30/DJB/2018 yang mengatur depo Pertamina yang masuk dalam kelas I-II B, jarak minimum +50 meter.

“Syarat minimum jarak tersebut ditentukan dengan memperhatikan potensi risiko yang diakibatkan dari aktivitas yang dilakukan oleh Depo Pertamina yang berpotensi membahayakan lingkungan sekitar,” tutur Rizal.

Dikatakan, jarak minimum yang tidak sesuai standar berisiko menimbulkan gangguan kesehatan seperti gangguan pernafasan, pusing, dan hilang kesadaran yang merupakan dampak dari paparan uap yang mengandung senyawa kimia berbahaya bagi tubuh.

Selain itu, ketidaksesuaian jarak minimum menunjukkan ketidakmampuan Pertamina dalam memenuhi studi kelayakan lingkungan. Emisi yang dihasilkan dari aktivitas Depo mengganggu kualitas udara di lingkungan sekitar.

Berdasarkan survei yang dilakukan Polinet di Kecamatan Ujung Tanah, ditemukan adanya pencemaran udara di sekitar depo Pertamina. Hal ini ditandai dengan adanya bau gas dengan kombinasi cuaca panas mengakibatkan masyarakat banyak masyarakat yang mengalami flu, pusing dan bahkan sesak napas.

Selain itu menandakan bahwa adanya pengelolaan limbah yang kurang baik pada Depo Pertamina.

Berdasarkan hasil analisis perspektif publik terkait dampak lingkungan Depo Pertamina Makassar, Menunjukkan 69,23 persen menyatakan bahwa keberadaan depo Pertamina mencemari udara, sementara hanya 30,77 persen yang menganggap tidak mencemari udara.

“Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas stakeholder menggap adanya pencemaran udara. Belum lagi jika ditinjau dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM),” ujar Rizal.

Ditegaskan, pemenuhan HAM yang dilakukan Pertamina, harus menjamin pemenuhan hak-hak mendasar dan tidak mengganggu hak-hak warga negara. Oleh karena itu, terdapat 2 opsi alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pertamina dan Kementerian BUMN.

Pertama, pemindahan depo Pertamina Makassar penting dilakukan dengan menghadirkan tempat dan teknologi baru yang menjamin pengelolaan yang berkualitas serta memenuhi standar risiko perusahaan internasional.

Pemindahan ini dapat menggunakan dua opsi, yakni pembangunan sepenuhnya oleh pihak pertamina, dapat pula menggunakan model kerjasama dengan pihak swasta dengan model public private partnership.

Kedua relokasi masyarakat sekitar depo Pertamina khususnya yang berjarak dibawah standar minimum yakni 60 meter sesuai standar API dan maksimum 122 meter sesuai standar NFPA.

“Namun, direkomendasikan untuk menggunakan standar maksimum agar menghindari risiko besar bagi masyarakat,” tandasnya

Related Articles

Back to top button