DIDAKTIKANASIONAL

Galang Sinergi Untuk Peningkatan Kompetensi Lulusan SMK Farmasi

Muhammad Bakrun Kasubdit Kurikulum Direktorat PSMK Kemendikbud berfoto bersama usai menjadi narasumber dalam acara Diskusi Panel tentang Komptensi Kerja Lulusan SMK Bidang Farmasi yang diselanggarakan oleh APMFI. (Sigit Artpro)
Muhammad Bakrun Kasubdit Kurikulum Direktorat PSMK Kemendikbud berfoto bersama usai menjadi narasumber dalam acara Diskusi Panel tentang Komptensi Kerja Lulusan SMK Bidang Farmasi yang diselanggarakan oleh APMFI. (Sigit Artpro)

Jakarta Review – Lahirnya UU No 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan yang mengharuskan profesi tenaga kesehatan harus berpendidikan minimal lulusan diploma III Farmasi sangat menguntungkan bagi Lembaga Pendidikan Farmasi yang ada di seluruh Indonesia terutama Akademi Farmasi.

Namun demikian beleid tersebut menyisahkan persoalan di lapangan bagi para lulusan SMK Farmasi di seluruh Indonesia. Mengapa, karena lantaran belum keluarnya regulasi turunannya berupa Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes), kini walaupun tetap dibutuhkan lulusan SMK Farmasi nggak bisa lagi bekerja di Rumah Sakit dan Apotek milik pemerintah. Bahkan Rumah Sakit Swasta sekalipun enggan menerima lulusan SMK karena takut akreditasinya menjadi bermasalah.

“Jadi Rumah Sakit Swasta juga kena dampaknya. Sebetulnya mereka tetap membutuhkan tapi karena takut melanggar UU dan terganggu akreditasinya, akhirnya mereka mempekerjakan lulusan SMK Farmasi hanya sebagai tenaga outsorcing. Padahal kalau outsorcing kepastian masa depannya kan kurang. Nah persoalan-persoalan tersebut menimbulkan kerisauan bagi teman-teman kumpulan Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi yang tergabung dalam Asosiasi Pendidikan Menengah Farmasi Indonesia (APMFI),” ujar Muhammad Bakrun Kasubdit Kurikulum Direktorat PSMK Kemendikbud saat ditemui usai menjadi narasumber dalam acara Diskusi Panel tentang Komptensi Kerja Lulusan SMK Bidang Farmasi,di Swiss Bellinn Kemayoran, (20/10) lalu.

Secara riil lanjut Bakrun, kebutuhan tenaga kerja di bidang Famasi di lapangan saat ini masih sangat besar. Ini bisa dibuktikan dengan data yang ada di Kementerian Kesehatan yang mengatakan dari sekian banyak puskesmas di Indonesia saat ini yang memiliki apoteker nggak sampai 50 persen.

“Jadi kalau mengacu dari data Kemenkes tersebut sebenarnya nggak ada masalah dari sisi demand (permintaannya),” jelas Bakrun.

Karena itu sambil menunggu kehadiran Permenkes yang akan memperjelas posisi lulusan SMK Farmasi sebagai Asisten Tenaga Kesehatan, ada baiknya APMFI melakukan berbagai pembenahan.

“Mereka bisa bertanya kepada diri sendiri, apakah betul selama ini mereka sudah mencetak tenaga kerja farmasi yang kompeten. Artinya sarana prasarananya harus siap, SDM nya juga dan sejumlah standar lainnya. Jangan sampai nanti ditemukan SMK Farmasi tapi nggak ada guru yang lulusan Farmasi. Sehingga outputnya nanti siswanya lulus hanya sekedar lulus, tapi nggak kompeten, karena di sekolahnya jarang praktek karena yayasannya nggak mampu beli alat. Nah saya kira ini yang perlu menjadi perhatian untuk pengembangan ke-depan,” terangnya.

Bakrun menambahkan terkait standar sarana yang harus dipenuhi oleh SMK Farmasi agar bisa menghasilkan lulusan yang kompeten, hal tersebut harus ditentukan oleh pengguna secara bersama-sama dengan APMFI dan KFN (Komite Farmasi Nasional).

“Saya pikir mereka yang harus menentukan standar komptensi lulusan SMK Farmasi. Kalau standar komptensinya sudah ketemu nanti akan keluar standar minimal sarananya harus seperti apa. Nah sementara ini belum ada, Jadi ini masih menjadi pekerjaan rumah buat kita semua,” cetusnya.

Terapkan 3 Standar Minimal

Ketua UmumAsosiasi Pendidikan Menengah Farmasi Indonesia (APMFI) Leonov Rianto, S.Si, M.Farm, Apt mengatakan untuk menjaga mutu lulusan SMK Farmasi, selama ini pihaknya mengeluarkan standar-standar yang harus dipenuhi oleh SMK Farmasi yang tergabung dalam asosiasi. Standar tersebut terdiri dari standar kurikulum, sarana dan prasarana dan tenaga pendidik. Ketiga standar tersebut adalah standar minimal yang dianggap penting dan krusial untuk menghasilkan lulusan Asisten Tenaga Kesehatan.

“Soal menjaga mutu nggak boleh ditawar-tawar. Karena dengan banyaknya jumlah SMK Farmasi seperti saat ini, pasti dong ada yang menjalankannya dengan ala kadarnya. Yang penting buka dulu. Ini banyak kejadian,” terang Leo.

Sebagai Ketua Umum APMFI dan sekaligus Sekjen Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia (APDFI), Leo berharap SMK Farmasi yang tergabung di asosiasi mengikuti dengan baik ketiga standar tersebut.

“Yang terjadi kurikulum sebenarnya semua SMK Farmasi telah menjalankan. Tapi karena tidak didukung oleh sarana dan prasarana lab dan tenaga pengajar yang memadai maka otomatis serapan kurikulumnya menjadi tidak maksimal. Nah ini yang kita fokuskan untuk dibenahi,” paparnya.

Dalam hal peningkatan komptensi lulusan SMK Farmasi, APMFI selama ini selalu bekerjasama dengan Organisasai Profesi (OP) di bidang Farmasi yaitu Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI). Ini penting dilakukan, karena organisasi yang diketuai oleh Dr Faiq Bahfen.SH ini adalah organisasi profesi yang sangat mumpuni karena sudah berdiri sejak tahun 1946. Apalagi sejak lahirnya UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, PAFI menaungi lulusan Diploma dan Menengah Farmasi yang dikenal sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dan Asisten Tenaga Kesehatan (ATK). Sebelumnya semua lulusan tersebut dikenal dengan sebutan TTK.

Ini tak lain atas arahan Komite Farmasi Nasional (KFN) yang terus mengingatkan kami dari APMFI untuk terus menggalang sinergi dengan pemangku kepentingan terkait dalam upaya meningkatkan mutu lulusan SMK Farmasi. Tak hanya itu sesuai amanat UU Tenaga Kesehatan tersebut KFN telah membantuk Kolegium Ilmu Farmasi Indonesia (KIFI) untuk mengatur tatanan kelilmuan kefarmasian di Indonesia mulai dari level 2 hingga 9 lanjutannya di bidang kefarmasian. Misalnya level 2 untuk untuk SMK Farmasi, level 5 untuk diploma tiga, level 6 untuk sarjana farmasi, level 7 untuk profesi apoteker, level 8 untuk S2 Farmasi dan terakhir level 9 untuk S3 Farmasi.

“Artinya KIFI mengatur level kompetensi dari mulai SMK Farmasi sampai dengan Program Doktor Farmasi,” tandas Leo.

Akhirnya Leo berharap melalui acara diskusi panel yang dilaksanakan APMFI bersama para pemangku kepentingan ini dapat segera menentukan standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI).

“Ini penting karena SKKNI akan menjadi panduan bagi semua tingkatan lulusan tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan khususnya di bidang farmasi,” pungkasnya.(win)

Related Articles

Back to top button