NASIONAL

Hardjuno: Kasus Sukena di Bali Pertanda Timpangnya Penegakan Hukum Lingkungan

Hardjuno Wiwoho kandidat doktor di bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair). (dok: HMS Center) 

Jakarta Review, Jakarta – Ahli hukum Hardjuno Wiwoho menyebutkan keadilan belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil, tercemin dari kasus yang menimpa warga Bali, I Nyoman Sukena. Karena itu, perlu upaya semua pihak untuk mendorong bangsa Indonesia dapat menjalankan penegakan hukum secara utuh dalam mewujudkan keadilan bagi semua tanpa perkecualian.

“Penegakan hukum seringkali timpang bagi rakyat kecil dan lebih kuat berpihak kepada mereka yang dekat dengan kekuasaan dan uang,” ujar kandidat doktor di bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (11/9)

Sebelumnya, I Nyoman Sukena, seorang warga Bali yang terancam lima tahun penjara karena memelihara landak Jawa, sebuah spesies yang dilindungi.

Menurutnya, apa yang terjadi pada Sukena menunjukkan timpangnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Hal ini sekaligus mengkonfirmasikan kurangnya proporsionalitas dalam penerapan hukum.

“Seharusnya yang ditekankan adalah prinsip keadilan, bukan hanya hitam putih aturan yang tertulis dalam undang-undang,” terangnya.

Hardjuno mengatakan, kasus Sukena ini juga menjadi catatan penting bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta pihak konservasi terkait sosialisasi aturan tentang satwa yang dilindungi.

“Seharusnya sosialisasi kepada masyarakat diperkuat, agar masyarakat tahu bahwa ada peraturan tentang memelihara satwa yang dikategorikan langka. Tanpa sosialisasi yang memadai, wajar jika masyarakat awam tidak mengetahui aturan ini,” jelasnya.

Kasus Sukena disidang di Pengadilan Negeri Denpasar setelah ia ditangkap oleh Ditreskrimsus Polda Bali pada 4 Maret 2024 karena memelihara empat ekor landak Jawa (Hystrix javanica), yang merupakan spesies satwa dilindungi.

Sukena, warga Desa Bongkasa Pertiwi, Badung, Bali, didakwa melanggar Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Ia terancam hukuman penjara lima tahun dan denda sebesar Rp 100 juta.Satwa tersebut didapatkan Sukena dari mertuanya tanpa mengetahui bahwa memelihara hewan itu melanggar hukum.

Setelah video Sukena yang menangis histeris di pengadilan viral di media sosial, netizen ramai-ramai menunjukkan dukungan untuknya. Mereka mengunggah tagar #KamiBersamaSukena dan menyatakan bahwa hukuman yang dihadapi Sukena tidak sebanding  dengan tindakannya, mengingat ia tidak memiliki niat jahat.

Banyak netizen membandingkan kasus ini dengan pelanggaran serupa oleh pejabat yang tidak mendapatkan hukuman setimpal, sehingga semakin memicu simpati publik terhadap Sukena.

Hardjuno menekankan bahwa asas *ultimum remedium*—di mana hukuman pidana adalah upaya terakhir—seharusnya diterapkan dalam kasus ini.

“Pidana jangan menjadi jalan pertama dalam setiap kasus. Penjara kita akan penuh jika setiap pelanggaran kecil langsung dihukum pidana. Pidana seharusnya menjadi opsi terakhir,” tegas Hardjuno.

Ia juga menambahkan bahwa dalam banyak kasus pidana lingkungan, pendekatan sanksi administratif lebih ditekankan untuk pencegahan dan pemulihan.

“Pidana tidak memperbaiki lingkungan, tetapi berfungsi untuk memberikan efek jera. Yang lebih penting adalah pemulihan dan pencegahan kerusakan,” tambahnya.

Kasus Sukena mencerminkan masalah yang lebih luas dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia, di mana kasus-kasus besar yang melibatkan kerusakan lingkungan akibat tambang sering kali tidak diproses dengan cepat dan tegas.

Misalnya, banyak kasus kerusakan alam akibat tambang batu bara di Kalimantan Timur yang merusak ekosistem, mencemari sumber air, dan menimbulkan bencana lingkungan.

Hingga kini, masih banyak kasus serupa yang belum diproses secara hukum, meskipun dampak kerusakannya sudah sangat jelas.

Hardjuno mengingatkan bahwa hukum harus digunakan dengan bijak dan adil, serta mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan hukum terhadap masyarakat dan lingkungan.

“Penegakan hukum tidak boleh hanya tegas terhadap kasus kecil dan lemah terhadap kasus besar. Keadilan harus ditegakkan di semua lini, baik itu pada kasus satwa langka maupun kerusakan lingkungan besar yang masih belum terselesaikan,” pungkas Hardjuno.

Related Articles

Back to top button