Jakrev.com, Jakarta – Aksi pemerasan dalam lingkup otonomi daerah kian menjamur. Hal ini mengganggu iklim investasi sekaligus membuat bingung kalangan pengusaha.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hukum dan Advokasi, Rudy Siregar mengungkapkan hal tersebut. Menurutnya, banyak praktik pemerasan dalam otonomi daerah membuat pebisnis menghadapi pilihan sulit dalam menjalankan bisnisnya di daerah.
Salah satu ancaman dari berbisnis di daerah yaitu risiko diperas oleh kepala daerah dan dianggap melakukan penyuapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau main di jalur jujur dengan risiko bisnis tidak jalan.
“Pemerasan makin sering terjadi saat pilkada, kepala daerah yang tidak memiliki modal kuat rentan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memeras pebisnis. Kalau tidak diberi uang, bisa jadi izin usaha pebisnis ditarik, dipersulit, pokoknya seperti premanisme lah,” sebut Rudy seperti dilansir dari tribunnews.com.
Ia lantas memberi contoh praktek pemerasa misalnya kasus penyuapan Direktur PT Media Karya Sentosa kepada mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amim Imran. Atau, kasus Siti Hartati Murdaya yang diduga menyuap Bupati Buol Amran Batipilu pada tahun 2013. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terutama iklim investasi di Indonesia.
“Ada fenomena dimana pebisnis dikriminalisasi oleh sistem yang ada. Kalau tidak bayar fee bisnis tidak jalan, kalau dibayar, nanti ditangkap KPK. semua jadi serba salah. Jika memang perlu ada fee untuk berbisnis, ya sudah tuangkan saja ke UU, biar aturan main jelas,” jelasnya.
Hal ini yang kemudian menciptakan biaya produksi para pengusaha di daerah jadi melambung. Fenomena pungli (pungutan liar)ini seperti mendarah daging lantaran lazim dijumpai di beberapa daerah. Bukan rahasia lagi, kalau peraturan di atas kertas dan praktik hasilnya bisa berbeda.
Jika pada masa orde baru korupsi berpusat pada lingkaran elite rezim pemerintah, maka di era reformasi praktik korupsi ini malah terdesentralisasi, menyebar ke daerah. Empat belas tahun setelah tumbangnya rezim orde baru, Indonesia justru mendapat musuh baru, yakni pemerintahnya sendiri. Pemerintah menjadi musuh terbesar masyarakat karena tidak adanya sistem check and balance yang tidak bekerja dengan baik.
Rudi menuturkan, euforia demokrasi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di pemerintahan. Menjadi kepala daerah tidak dipandang sebagai pelayan publik, tapi sebagai jalan menuju kekuasaan dan mempertebal kantong pribadi.
“Apa yang terjadi kemudian? Para kepala daerah dengan mentalitas koruptor ini lantas menyalahgunakan kekuasaan mereka. Praktik pungli menjadi lazim dan mengakibatkan ekonomi berbiaya tinggi. Daerah-daerah di indonesia umumnya memiliki potensi sumber daya alam sehingga investasi yang diperlukan tidak sedikit dan harus menembus regulasi yang berlapis-lapis,” katanya.
Menurut Rudi, kewenangan kepala daerah di era otonomi daerah saat ini sudah cukup besar sehingga membuat rawan disalahgunakan. Hal ini cukup tampak pada kemudahan berbisnis di daerah, karena memiliki nilai investasi yang besar, tidak jarang izin usaha dipersulit.
“Pebisnis harus mengandalkan hubungan informal dengan kepala daerah agar bisa mendapatkan kemudahan berinvestasi dan tidak jarang harus memberikan upeti pada kepala daerah agar mendapatkan kemudahan,” katanya.
Minimnya infrastruktur juga menjadi kendala utama, padahal menurut undang-undang yang berlaku, pemerintah daerah berhak menyediakan prasarana seperti jalan, listrik, air bersih, sertifikat tanah, dan lain-lain.
Namun tidak jarang prasarana tersebut tidak tersedia sehingga pebisnis harus membangun prasarana tersebut. Menurut Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA), penyerapan APBD per September 2012 adalah 43,90 persen, jumlah ini masih dianggap rendah dan tidak memadai untuk membangun infrastruktur yang diharapkan. (nap)