EKONOMINASIONAL

Menjahit Laba dari Bisnis Boneka

 

Setiap kesulitan kalau disikapi dengan bijak biasanya selalu menyimpan sejumlah peluang untuk meraih kesuksesan. Prinsip inilah yang dipegang oleh Linda Marlinda Tjaja perempuan kelahiran Bogor 14 Juni 1977 lalu. Dengan menjalankan prinsip itulah, Linda kini berhasil menjadi pengusaha produsen boneka ternama di kota Bogor.

Linda bercerita, awalnya dirinya hanyalah seorang karyawan dari sebuah perusahaan produsen boneka khusus ekspor yang berlokasi di wilayah Ciutereup, Kabupaten Bogor. Sebagai marketing lokal, saat itu Linda berhasil memasarkan boneka asal perusahaan tersebut di gerai ritel modern seperti Matahari Departement Store, Ramayana dan Yogya Toserba. Sayangnya setelah 3,5 tahun bekerja disana, pabrik tersebut lalu tutup dan kemudian pindah ke Vietnam. Padahal ketika itu pasar boneka dalam negeri sedang bagus-bagusnya, ujar Linda.

Singkat cerita kondisi perusahaan akhirnya memburuk hingga tak mampu membayar bonus karyawannya. Ia pun mengundurkan diri. Karena tak mampu membayar bonus, masing-masing karyawan yang mengundurkan diri mendapat aset berupa boneka sebanyak satu mobil box.

Di pasar, Linda menjual boneka hasil pesangonnya tersebut seharga Rp 12-25 ribu lebih murah dari harga normal hingga sekitar Rp 200 ribu. Alasannya, ia tak mau menimbun boneka terlalu lama karena takut usang digilas tren. Bagaimanapun, penjualan boneka juga ikut tren yang ada di pasar.

Berkat keterampilannya menjual, Linda berhasil menjual boneka yang dianggap sebagai bonus tersebut. Namun akibat menjual di bawah harga pasar, ia pun hanya menerima omzet di bawah Rp 25 juta. Padahal ia akan mendapat bonus Rp 35 juta bila perusahaan tidak bangkrut saat itu. “Saya tetap ikhtiar dan melanjutkan usaha,” tuturnya.

Berbekal dana dari hasil penjualan boneka tersebut, Linda lalu terjun langsung menjadi produsen boneka. Berkat ketekunannya usahanya lalu berkembang. Ia mampu membeli mesin jahit pada 2006. Ia lantas memutuskan memproduksi boneka dengan merek sendiri untuk menekan ongkos dan harga.

Saat itu usahanya mampu memperkerjakan dua pegawai. Ia pun memberanikan diri membuka pabrik boneka sendiri di wilayah Wangun, Tajur Kota Bogor.Dulu karyawan saya hanya 12 orang, kini sudah bertambah menjadi 25 orang ditambah puluhan warga sekitar pabrik yang saya berdayakan untuk menjahit boneka,terangnya seraya menjelaskan kini pabrik yang dimilikinya, mampu memproduksi hingga 15 ribu boneka dengan omzet rata-rata mencapai Rp 100 juta per bulannya.

Berkat kegigihannya yang tak mau menyerah dari keadaan yang sulit, Ibu satu anak ini kini sukses mengembangkan usaha di dibidang boneka dengan mengusung brand Monesh Plush. Boneka adalah mainan yang sangat disukai oleh anak-anak hingga orang dewasa, karena itu saya yakin akan berhasil, ujarnya.

Tak heran kini produk Monesh Plush mudah dijumpai di sejumlah gerai ritel modern seperti Matahari Departement Store, Yogya Toserba dan Ramayana. Tak hanya di ritel modern, Rini pun pernah melayani pembuatan merchandise untuk sejumlah perusahaan besar, termasuk maskapai Lion Air Group. Kalau Matahari tersebar di seluruh Indonesia sedangkan Yogya Departement Store hanya yang ada di Jawa Barat saja, tuturnya.

Linda mengakui bahwa dirinya sudah terlanjur mendalami bisnis boneka di pasar dalam negeri. Dari mulai tingkat kesulitan hingga prospeknya, semua sudah dilakoninya. Saya memang mengkhususkan diri untuk mengisi pasar local, Tapi bukan berarti tidak ada boneka saya yang beredar di pasar internasional. Walau belum terlalu banyak, beberapa agen ekspor kerap memesan boneka saya untuk dipasarkan di Singapura, Malaysia dan Jerman, paparnya.

Tak ingin berhenti disitu, tahun depan, lulusan Sarjana Komunikasi dari FISIP UI ini sudah mengambil ancang-ancang untuk menembus pasar ekspor. Langkah awal saya menembus pasar global, Insya Allah akan dimulai pada Januari 2016 dengan mengikuti Toys Fair yang akan diselenggarakan di Hongkong dan Jerman, paparnya.

Keinginannya untuk menembus pasar global dipicu oleh keikutsertaannya pada program coaching clinik UKM yang dilakukan oleh Pusat Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI) sebuah lembaga khusus pelatihan ekspor UKM yang bernaung di bawah Kemententerian Perdagangan (Kemendag). Saya mengikuti program coaching kurang lebih hamper satu tahun. Disitulah saya termotivasi untuk melakukan ekspor. Di pelatihan ini pula saya mendapatkan ilmu seluk beluk mengenai prosedur ekspor mulai dari pengurusan dokumen, pengiriman barang, pembuatan kemasan yang menarik dan seterusnya, ungkapnya.

Sebagai salah satu persiapan menembus ekspor tersebut, Linda pun sudah bekerjasama dengan sejumlah UKM boneka lainnya di Kota Bogor yang tergabung dalam sebuah paguyuban dan Koperasi Mitra Sauyunan. Kebetulan program kita sama yaitu boneka. Jadi jika nanti ada permintaan dari pasar luar negeri, koperasi yang beranggotan 30 UKM boneka tersebut, bisa saya berdayakan untuk membantu saya memenuhi permintaan eskpor tersebut, tandasnya.

Terkait desain, Linda menegaskan bahwa pabriknya tidak akan pernah membuat desain boneka yang sudah memiliki lisensi, seperti tokoh-tokoh kartun yang sudah mendunia. Ia mengaku tantangan mengelola usaha produksi boneka terletak pada kemampuan berinovasi. Kreativitas mendorong daya tarik produk untuk diminati masyarakat, terutama korporasi besar dan para importir. Desain kami ciptakan sendiri dengan bentuk yang universal, tapi tidak ada kaitannya dengan boneka-boneka dari kartun-kartun yang berlisensi, pungkas Linda. (win)

Back to top button