Jakrev.com – Kejelian memutuskan penggunaan kulit ular sebagai bahan baku pembuatan tas membuat usaha Ida Niagati semakin moncer. Tak ayal sejak awal tahun ini, pemilik Phi-Tone Bag ini sudah mampu menjual 171 tas berbahan kulit ular hasil karyanya. Kini beberapa buyer dari 5 negara pun tertarik dengan produknya.
Menjadi pengusaha sukses apalagi menjadi eksportir bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Banyak jalan berliku yang harus dilalui pengusaha untuk mencapainya. Begitu pula yang dialami oleh Ida Niagati sosok pengusaha yang kini sukses menekuni bisnis tas berbahan baku kulit ular piton.
Berkat ‘gemblengan’ coaching program dari Pusat Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI), sejak Januari 2014, Ida sudah mampu menjual 171 tas berbahan kulit ular hasil karyanya. Bahkan kini, Ibu dari dua anak tengah menyiapkan sejumlah tas pesanan buyer dari beberapa negara seperti Turki, Jerman, Belgia, dan Inggris. “Saya sedang bernegosiasi dengan mereka terkait dengan berapa jumlah pesanan yang harus saya kirim kesana. Sementara terkait model tas dan kualitas yang diinginkan mereka, sudah tidak ada masalah lagi,” kata Ida kepada Jakarta Review.
Para buyer yang datang pada Trade Expo Oktober lalu, memesan produk tas dalam jumlah yang lumayan. Untuk satu model desain tas, para buyer tersebut memesan 12 buah, sementara Ida memiliki pilihan model tas puluhan. Sedangkan untuk dompet sekitar 50 buah perbulan. “Tas-nya berbahan baku kulit ular seperti ular kobra, Air, dan piton, amat disukai oleh pasar luar negeri,” ujar Perempuan lulusan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Kulit ular dipilih karena memiliki sejumlah keunggulan. Dibandingkan dengan kulit lainnya seperti kulit sapi dan domba, kulit ular motif kulitnya sangat khas dan tahan lama. Sesama kulit ular piton saja teksturnya berbeda-beda. Jadi, pemilik tas bahan kulit ular piton memiliki produk yang ekslusif, meski sama-sama berbahan kulit ular piton. “Semakin lama kulit piton akan semakin menyala tekstur kulitnya. Bisa jadi juga karena eksklusifnya, karena tekstur motif sesama piton sendiri berbeda-beda. Jadi, pemilik tas bahan kulit ular piton tidak ada duanya, meski sama-sama berbahan kulit ular piton,” jelas Perempuan kelahiran Jombang, Jawa Timur 45 tahun silam itu.
Menyangkut desain tas, Ida mengakui selain merancang sendiri dan hasil pesanan model dari pembeli, dirinya juga melihat tren tas-tas branded yang dimodifikasi sedikit agar terlihat beda. “Alhamdulillah, kini saya memiliki mitra 20 orang penjahit yang kualitasnya sangat bagus, sehingga membuat tas ini semakin berkelas”, tandas pemilik Phi-Tone Bag ini.
Penjualan tas kulit ular pun cukup laris. Sejak Desember 2013, Ida sudah mampu menjual tas sekitar 170 unit. Padahal untuk memiliki tas piton karyanya, konsumen harus merogoh kocek lebih banyak. Harga sebuah tas kulit kobra dibanderol sekitar Rp 1 juta, tas berbahan kulit ular air sekitar Rp 1-2 juta. Untuk tas kulit ular piton sekitar Rp 2-3,5 juta.
Namun kendati tak bisa dibilang murah, produk tas kulit ular ini tetap diminati oleh konsumen. Terutama untuk konsumen kelas menengah atas. “Setelah saya pasarkan melalui website, produk kami semakin banyak diminati. Bahkan, saya mendapat tawaran dari sebuah galeri seni di London untuk tinggal disana selama tiga bulan untuk mendemontrasikan pembuatan tas seperti ini”, tutur perempuan yang berdomisili di perumahan Gema Pesona Estate, Kota Depok, Jawa Barat ini.
Tak Direncanakan
Awalnya, Ida tidak menyangka menekuni bisnis tas berbahan baku kulit ular. Ida hanyalah sosok perempuan yang gemar melukis bahkan sejak remaja. Namun Ida berkisah, bakat yang dimilikinya tersebut, tidak direstui keluarga untuk dikembangkan lebih lanjut di jurusan seni rupa. “Ayah meminta Ida menekuni pertanian,” kenang Ida.
Sambil kuliah jurusan pertanian, Ida malah lebih bebas mengembangkan bakatnya. Ia mulai serius melukis di kanvas pada 2003-2005 saat tinggal di Surabaya. Di Kota Pahlawan ini, Ida sempat mengadakan pameran tunggal bertema pesona alam sebanyak dua kali pada 2003 dan 2004.
Selepas dari Surabaya, hingga 2007 Ida ikut suami pindah ke Makassar kemudian pindah lagi ke Depok, Jawa Barat. Nah di kota terakhir inilah, hobinya ia tekuni untuk mencari pendapatan tambahan. Ia melukis di atas kerudung dan baju untuk dijual ke teman-teman. “Saat masih melukis di atas kanvas, suami kurang mendukung. Ketika saya geluti melukis di atas kerudung, syal, dan baju, suami senang,” terangnya.
Seiring berjalannya waktu, usaha Ida kian terkenal dan cukup menjanjikan. Ida pun ikut kegiatan Usaha Kecil Menengah (UKM) Mitra Binaan Telkom. Di bawah binaan Telkom, Ida disarankan membuat produk yang tidak terlalu segmented dan berkualitas ekspor. “Setelah satu tahun di Telkom, saya diikutsertakan dalam kegiatan coaching program yang diadakan oleh PPEI,” paparnya.
Kendati sudah berhasil sebagai produsen tas berbahan kulit ular, Ida mengakui kiprahnya sebagai eksportir tas ini bukanlah sesuatu yang direncanakan. “Semuanya berjalan begitu saja, bahkan mungkin karena melihat talenta saya, pihak PPEI seakan memaksa saya untuk mengembangkan diri lebih lagi menjadi seorang eksportir”, cetusnya.
Kini, brand Phi-Tone Bag tidak melulu merilis tas berbahan kulit ular saja. Kulit sapi (dengan lukisan) dan kulit biawak pun mulai menjadi rambahan bisnis Ida. “Target saya berikutnya adalah memiliki butik sendiri khusus tas, terpisah dari rumah tinggal”, tegas Ida seraya berkata dirinya tidak bisa mundur lagi dengan label eksportir tas berbahan kulit ular dengan brand “Phi-Tone Bag”. Windarto