LIFESTYLEREHAT

Bagong Big Band Alunkan Musik Jazz Tanjidor

Bagong Big Band okJakarta Review – Musik adalah bahasa universal yang dapat memanjakan telinga siapa saja yang mendengarnya, termasuk musik jazz. Musik jazz adalah musik tradisional Amerika Serikat, aliran musik ini pada awal abad ke-20 mulai dikenal di New Orleans dan berkembang sampai ke Chicago. Lahirnya musik jazz dipercaya para pemusik sebagai perpaduan musik Afrika dan Eropa.

Saat ini musik jazz semakin diminati dan mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Salah satunya ialah Irianto Suwondo yang akrab dipanggil Mas Bagong, pelaku seni orkestra yang memprakarsai berdirinya Bagong Big Band pada 2 Januari 2012. Mengusung aliran musik jazz yang dikolaborasikan dengan unsur etnis Indonesia, namun tak menutup diri dari musik jazz pada umumnya.

Bagong Big Band merupakan komunitas musik yang diperuntukkan bagi siapa saja yang ingin menyalurkan minat dan bakat bermusik, khususnya musik jazz dengan format Big Band. Seperti halnya Bagong yang menjadi ikon penghibur dalam cerita pewayangan Jawa, kehadiran Bagong Big Band diharapkan mampu menghibur semua kalangan pecinta dan penikmat musik, khususnya musik jazz di Indonesia, ungkapnya.

Sebagai seorang dosen di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Irianto sudah puluhan tahun mengajarkan musik jazz kepada murid-muridnya. Namun, kecintaan terhadap musik jazz tak lantas membuatnya lupa akan musik negeri sendiri. Pada tahun 2011, pria kelahiran Semarang, 24 Februari 1962 itu sedang mengambil studi pascasarjana dan mengambil jurusan penciptaan. Lalu ia tertarik untuk mendalami Tanjidor dan melakukan penelitian secara mendalam untuk memperoleh gelar master dibidang musik.

Saat saya mendapat kesempatan mengambil S2 di IKJ, saya tertarik mengangkat Tanjidor. Karena Tanjidor termasuk kesenian musik Betawi yang hampir punah. Tanjidor ini kan penggabungan antara perkusi dan tiup, kebetulan disiplin ilmunya saya ini dosen musik tiup. Kemudian saya mulai meneliti, mencari orang, mengajar, dan membina sampai orang tersebut bisa memainkan alat musik itu, kata pria keturunan Tionghoa ini.

Berawal dari situlah, Irianto mengkolaborasikan musik jazz dan Tanjidor. Namun perjuangannya menghidupkan kembali musik Tanjidor bukan hal mudah, banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah kesulitan mencari seniman-seniman Betawi yang rata-rata sudah berusia lanjut dan tak ada regenerasinya. Sehingga dalam memainkan alat musik tersebut menjadi kaku dan sebagian besar lainnya tidak mengerti bermain alat musik.

Kesulitan pertama saat saya melakukan penelitian di musik Tanjidor adalah tidak ada orang yang berminat dan alatnya juga rusak. Akhirnya pelan-pelan saya ajak anak-anak yang masih muda untuk belajar dan berusaha memperbaiki alat-alat dengan biaya sendiri. Setelah saya kasih pengajaran yang benar, teknik yang benar dan perawatannya sehingga hasilnya mulai enak didengar meski belum sempurna, ujarnya.

Menurut Irianto, Tanjidor sendiri aslinya sebetulnya dibawa dari daratan china sekitar abad ke-19. Sebelumnya, tanjidor digunakan hanya untuk menghibur tuan tanah, lalu akhirnya dikembangkan oleh orang kita sendiri sampai akhirnya menjadi tradisi orang betawi. Tetapi sayangnya, mereka dulu tidak mendapatkan teknik yang benar seperti pernapasan yang benar, cara meniup yang benar, penjariannya dan alat-alatnya tidak diperbaiki jadi semakin lama suara yang dikeluarkan akan terdengar sember atau sumbang.

Menariknya, dalam proses kolaborasi musik tersebut, Irianto sama sekali tak merubah pakem dari tanjidor itu sendiri. Saya enggak merubah pakem, tapi yang saya rubah adalah teknik meniup, mulai dari bernapasnya, membaca dengan not angkanya dulu, menghafal not-not lagu, lalu divariasi akhirnya sampai digabung dengan big band. Prosesnya enggak gampang tapi sekarang mereka mulai merasa enak. Dan saat ini setiap dua minggu sekali ke Jagakarsa untuk mengajar anak-anak muda, tutur alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu dengan bangga.

Di tangan Irianto, perpaduan antara musik jazz dan Tanjidor ternyata mampu menghasilkan alunan musik baru yang memukau. Bersama 15 orang pemain musik yang tergabung dalam Bagong Big Band, Irianto mantap mengusung musik jazz dan Tanjidor sebagai aliran musiknya. Hanya satu alasannya, yakni agar musik Tanjidor diminati dan dicintai oleh generasi muda.

Sasarannya adalah agar memberi kesempatan kepada anak-anak yang masih muda belajar musik jazz sekaligus juga memperkenalkan dan melestarikan musik tradisional Tanjidor. Dengan cara menggabungkan keduanya, diharapkan kedepannya bisa maju bersamaan. Jadi anak-anak muda ini dapat bermain musik jazz dan dari musik tradisional Betawi juga tidak punah, bahkan akan ada generasi penerusnya, harap pria bertubuh tambun ini.

Kini bersama musik jazz Tanjidornya, puluhan lagu khas Betawi telah berhasil di arransemen dengan apik. Tampil di ajang musik bergengsi di Tanah Air sekaligus mendorong musik Tanjidor untuk unjuk gigi. Seiring dengan sering pentas di acara-acara bergengsi, anak-anak muda yang tergabung dalam Bagong Big Band menjadi lebih percaya diri. Keinginan mereka untuk tampil layaknya anak band dan banyak manggung di even-even terkenal mulai terpenuhi.

Dulu, pertama kali pentas tentu di ujian tesis saya di Kampus IKJ, sekarang kita sering tampil di beberapa Festival Musik Jazz, antara lain Jakarta International Jazz Festival, Festival Jazz Kemayoran, Gandaria City, Margo City, Java Jazz dan lain-lain. Kita juga sering dapat panggilan untuk mengarak pejabat atau tamu dari luar negeri. Bahkan kita juga pernah tampil menghibur presiden di Istana Negara dalam sebuah acara Festival Film Nasional. Singkatnya kita mulai sering menerima panggilan tampil. Dan terus terang ini suatu perkembangan yang sangat positif, papar principal French Horn di berbagai orkestra ini.

Kiprah Irianto membuktikan, bahwa kreatifitas dalam bermusik tidak pernah mengenal batas. Eksistensi musik Tanjidor yang hampir punah nyatanya dapat diminati dan dinikmati kembali. Bagong Big Band dengan musik jazz Tanjidornya berusaha merebut hati penikmat musik dari dalam maupun luar negeri.

Saya ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa berkembang dengan musik jazz dan tradisional. Sehingga mungkin suatu saat bisa membawa musik tradisional Betawi dapat pentas dipanggung-panggung di luar negeri, pungkasnya. (buggi)

Related Articles

Back to top button