Adyaksa Vs Ahok : Biarkan Anak-anak Agama Memilih
Oleh : Abdullah Amas*)
Wacana mengusulkan Ridwan Kamil, Fahira Idris atau Adyaksa Dault disuarakan diam-diam oleh kelompok Islam yang selama ini menentang kepemimpinan Ahok untuk pilgub DKI Jakarta. Gerak-gerik Adyaksa Dault nampak agresf untuk merebut kursi DKI-1. Ia menitip adiknya untuk maju pemilihan ketua KNPI DKI Jakarta.
Beberapa orang melihat ini langkah taktis untuk perhelatan 2017. Kelompok seperti Partai Gerindra tentu sudah ngeh dengan Adyaksa. Entah faksi nasionalis seperti adik prabowo yang nasionalis, Hashim Djojohadikusumo, yang masih kesemsem Ahok. Padahal faksi anak muda kesayangan Prabowo seperti Fadli Zon–yang dekat dengan pemikiran Masyumi—-mantan wakil ketua umum DPP Partai Bulan Bintang ini dengan cepat menyamber statement Hasim kalau Hasim tak mungkin dukung Ahok. Dia ingin pemimpin berprestasi. Pertanyaannya Ahok berprestasi atau tidak toh selama ini banyak bikin kontroversi.
Kelompok Islam Primordial nampaknya benar-benar ingin mengganjal Ahok, bukan hanya membawa ide-ide islam tapi juga pribumi. Bahkan sampai ada statment mantan staf khusus mantan mendagri Gamawan Fauzi, yaitu Umar Syadad Hasibuan bahwa”najis memberi KTP dari warga Jakarta supaya Ahok maju lewat jalur independen atau perseorangan non partai” di salah satu media online milik kelompok keras ini. Ya, isu-isu Islam dan Pribumi seolah bersatu untuk menjegal Ahok.
Kaum Muda Islam Melihat Ahok
Namun, tidak semua kelompok islam–utamanya kaum muda— melihat Ahok seolah seperti harus menyalakan sirene alarm perang, kelompok seperti tokoh muda Muhammadiyah Syaiful Haq membuat jargon “Ahok itu Gue” di media-media sosial miliknya menjadi foto profil. Cagar seperti #SAVE AHOK, #solidaritas Ahok dimunculkan sejumlah anak didik Muhammadiyah. Mereka seperti mengikuti “abang-abang” mereka yang berpikiran terbuka tentang Syafii Maarif, Dien Syamsudin dan Mahfud MD Yang melihat Ahok dari kinerja.
Lalu, anak-anak muda NU seperti Jabidi Ritonga (mantan sekjen PB PMII) Melihat Ahok yang berani cocok untuk mengatur Jakarta yang amburadul. Hanya dari segi sisi tutur kata saja yang dilihatnya harus lebih soft.
Tantangan (Kelompok) Islam (Primordial)
Untuk mereka yang masih ingin jadi “Gatot Kaca” Islam, keberanian yang emosional dan gelap mata tentu tidak produktif. Semua kalangan bisa melihat seperti ide “gubernur tandingan” Fahrurrozi yang digagas oleh kelompok ini lewat pelantikan yang dihadiri beberapa ormas Islam malah jadi bahan dagelan dan tertawaan banyak pihak. Bahkan dari kalangan ormas Islam sendiri saya mendengar sendiri salah satu ormas Islam tidak hadir padahal ikut dalam barisan penggulingan Ahok. “Kok ini jadi semacam dagelan,” kata ketua umum salah satu ormas Islam itu kepada saya beberapa waktu lalu.
Langkah produktif mereka harusnya memunculkan tokoh yang lebih anti korupsi, lebih berani menata Jakarta dan lebih teruji kepemimpinannya. Selama ini kelompok Islam seperti Rhoma Irama, Yusuf Mansyur, dan lainnya tertarik dengan Adyaksa Dault. Pertanyaannya apa yang sudah dilakukan Adyaksa terobosan waktu di kemenpora? Bukankah Adyaksa ketika di kemenpora banyak dihujat berbagai pihak agar direshuffle karena kinerjanya tidak memuaskan?
Citra islam semakin tergerus dengan kasus Sumut yang melibatkan gubernurnya yang berasal dari salah satu partai Islam yang menampilkan wajah seolah “halal beneer” korupsi. Seperti logat orang yang baru buka puasa lalu minum es coca cola.
Adakah sosok itu? Sementara warga Jakarta adalah orang-orang yang berpikiran terbuka. Tanyakan ke mereka “pilih orang jadi pemimpin kalau agamanya non muslim bagaimana?” Mereka rata-rata memilih berdasarkan kinerjanya, yang bisa menata Jakarta
Biarkan “Anak-anak Agama” Memilih
Sudah jelas pesan di Pilkada DKI sebelumnya, pilpres dan pileg sebelumnya bahwa isu-isu agama tak pernah signifikan membawa suara bagi kemenangan tokohnya. Lihat saja contoh sederhana di pilpres Amien Rais (2004), JK- Wiranto (2009) dan Prabowo-Hatta (2014) keok begitu saja. Sesumbar tokoh-tokoh Islam untuk membawa suara yang banyak bagi tokoh yang didukungnya pun sebagian terlihat tidak memuaskan.
Adalah salah satu mantan menteri dari partai bulan bintang, yang dijanjikan oleh berbagai tokoh Islam di depok untuk suara di pemilu legislatif disana, dijanjikan “pokoknya ane hijauin deh Depok buat antum.” Mirisnya janji cuma janji. Suara PBB pun di daerah itu tidak cukup memuaskan. Maka bahasa-bahasa melankolis berbagai tokoh Islam ini sebagai berikut “kite ga didukung media, ada kecurangan, dan banyak lagi alasan.”
Maka, pilihan isu-isu melankolis agama tak pernah punya tempat. Masyarakat akan memilih sosok yang terlihat segar, garang menata masalah Jakarta yang begitu penuh kompleksitas. Mereka adalah cerita tentang orang-orang beragama yang menutup buku dongeng “ideologi agama” dalam menata kota sebesar Jakarta.
*) Penulis adalah mantan Wasekjen PB HMI dan kini sebagai Direktur eksekutif The Future Institute.