Donny Alamsyah Sheyoputra: Pejuang Hak Cipta yang Bersahaja
Mengedepankan orisinalitas, ia berjuang memberi batas soal hak cipta. Ukiran pengalaman yang kemudian menghantarkannya tak gentar berperang melawan pengemplang karya.
Jakrev.com – Bisa jadi, tak banyak praktisi hukum yang memilih soal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Namun, Donny Alamsyah Sheyoputra menghabiskan sebagaian hidupnya demi mengurai dunia pembajakan hak cipta yang kian marak di negeri ini.
Lelaki kelahiran Makasar 20 April 1977 silam yang kini membuka kantor advokat Sheyoputra Law Office itu punya fokus khusus dalam melindungi karya cipta manusia, baik berupa karya seni seperti lagu hingga perangkat lunak alias software. Kegigihan ini, menurutnya, merupakan kelanjutan teladan dari sosok sang ayah. “Secara tak langsung, orang tua yang memberi pondasi bagi karir saya di bidang penegakkan HAKI,” kata Donny kepada Jakarta Review di Januari lalu.
Hal itu bermula saat ayahnya pensiun dari tempat ia biasa bekerja di PT Panasonic Gobel, tahun 1996. Lepas dari gergasi milik Rahmat Gobel tersebut, sang ayah mencoba usaha gerai penjualan VCD original di pusat pertokoan Glodok, Jakarta Barat. “Saat itu, saya masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya,” cerita Donny.
Ketika libur kuliah, sesekali dirinya turut membantu menjaga toko tersebut. Donny menyaksikan, penjualan VCD original itu sebenarnya cukup ramai meskipun diserbu dagangan VCD bajakan yang lalu-lalang. “Bayangkan toko milik ayah saya adalah satu-satunya toko yang menjual VCD original ditengah kepungan para penjual cakram bajakan,” kenangnya.
Tak lama, malapetaka Mei 1998 atau dikenal kerusuhan menjelang reformasi tiba. Kala itu, komplek pertokoan Glodok hangus terbakar diamuk massa, termasuk toko milik ayahnya. “Saat itu saya merasa ada panggilan, bahwa menjual barang yang original itu walaupun merupakan sesuatu hal yang baik namun belum dihargai oleh masyarakat dan pemerintah. Toh menjual barang asli atau original juga tetap bisa hidup, kok. Hanya saja memang ada manusia yang kurang sabar, ingin lebih cepat dapat uang dengan menjual produk bajakan tanpa memikirkan kerugian yang diderita orang lain yaitu penciptanya,” jelasnya.
Atas hal itu, Donny yang menjadi mahasiswa Universitas Airlangga tertarik membuat skripsi tentang Perlindungan Hak Cipta di bidang film. Tekadnya pun bulat, kelak bakal menjadi pengacara handal bidang HAKI yang terus memberikan edukasi tanpa menyerah. “Ketertarikan saya menekuni penegakkan HAKI pada awalnya dipicu oleh hal yang melankolis,” lanjut ayah dari Nicholas Vigo dan Nicholas Viery ini.
Usai menamatkan kuliah di fakultas hukum Unair pada 1999, nurani Donny pun bergejolak. Sebenarnya ia ingin segera bekerja pada sebuah firma hukum guna agar cepat mandiri dan tidak membebani orang tua. Namun, niatan itu tak direstui sang ayah. “Ayah bilang, mumpung masih punya semangat dan idealisme, apalagi orang tua masih mampu membiayai, ketimbang langsung bekerja, lebih baik kamu melanjutkan kuliah lagi,” terang Donny menirukan nasehat sang ayah.
Lantas Donny pun segera melanjutkan hasrat menggondol gelar Master of Law di bidang Intellectual Property Rights dari School of Law Universitas Murdoch, Perth Australia. Ia terus menggali pengetahuan perihal HAKI. Di saat itulah baktinya pun tetap berkobar. Demi meringankan biaya kuliah, Donny nyambi serampangan. Pernah menjadi pengantar koran, pelayan restoran, dan bahkan tukang cuci piring. “Saya ingin meringankan beban orang tua dan cepat mandiri sekaligus mengusir rasa jenuh jika sedang tidak kuliah,” imbuhnya.
Beban kerja sampingan itu tak membuat Donny melupakan tugas utamanya. Di sela kesibukan, ia masih tekun berhasil sehingga bisa lulus dengan predikat LL.M hanya dalam waktu dua semester. “Saya punya beban yang berat karena harus memberi contoh kepada kedua adik saya,” akunya. “Apalagi sejak awal pilihan saya untuk terjun di dunia hukum bertentangan dengan kebanyakan orang Tionghoa yang lebih suka mendalami masalah bisnis. Saya harus membuktikan bahwa pilihan saya ini adalah pilihan yang tepat,” tambah penggemar buku-buku sejarah dan biografi tokoh militer ini.
Sepulang menimba ilmu dari Negeri Kangguru, ia langsung diterima kerja sebagai pengacara dan konsultan hukum di Suryomurcito & Co. Law Firm. Selama enam tahun, Donny berkutat pada salah satu firma Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang berafiliasi dengan Rouse & Co International dari Inggris ini.
Dengan label perusahaan wahid, Donny banyak ditempa etos kerja seperti memberikan pelayanan dan dedikasi kepada klien. Juga tentang leadership yang efektif dalam mengembangkan organisasi. ”Sebuah pengalaman bekerja yang menyenangkan. Saya bisa belajar bagaimana contoh seorang leader yang efektif dan bagaimana sebaliknya jika ada seorang leader yang tidak efektif dalam suatu organisasi. Saya juga sering bertukar ilmu dengan praktisi hukum asing,” sebut Donny sambil mengurai senyum.
Ia juga banyak menyerap pengalaman selama bertandang ke luar negeri. Misalnya saat ditugaskan ke Tiongkok selama 4 minggu, ia mendapat tugas spesial mendalami pemalsuan dan pemiripan kemasan (passing off) makanan hewan piaraan dan produk-produk cokelat pada tahun 2006. Setelah kembali dari Beijing, tersirat pemikiran bagaimana kelak pengalaman di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan manajemen dapat dikembangkan jika kelak sudah tidak bekerja di firma hukum yang itu. Entah bagaimana, kesempatan itu datang setelah Business Software Alliance (BSA) menghubunginya dan menawarkannya untuk membantu pengembangan organisasi di Indonesia. “Mereka kemudian menawari saya untuk menjadi Kepala Perwakilan BSA Indonesia. Saya berminat karena ada aspek edukasi ke publik yang lebih menjadi prioritas daripada sekedar penegakan hukum,” tandas suami dari A. Bitaliya ini. Setelah mempertimbangkan banyak hal, Donny memilih menjadi nakhoda BSA di Indonesia.
Nah, di BSA ini ilmunya pun makin tergali menelisik persoalan software ilegal. Termasuk pula industri software dengan berbagai varian lisensinya. Donny meyakini, pada akhirnya baik software lokal ataupun asing akan mengalami keuntungan bila angka pembajakan bisa ditekan. Atas buah tangan Donny kemudian terjadi sinergi antara software lokal dan asing untuk bersama-sama membuat program untuk memerangi pembajakan.
Menurutnya, masyarakat belum paham bahwa dengan menghargai produk digital pada saatnya akan membangkitkan industri serupa di dalam negeri. Sebaliknya industri kreatif di bidang software ini tidak akan berkembang jika tingkat pembajakan di Indonesia masih tinggi. “Karena itu, tenaga kerja kita yang piawai di bidang IT lebih memilih bekerja di luar negeri. Yang tidak ke luar negeri lebih memilih bekerja sebagai staf IT Support atau maintenance daripada berfokus untuk menciptakan software-software bermutu,” kritiknya. “Seharusnya software harus dipandang sebagai aset sama seperti mesin pabrik atau kendaraan bermotor,” timpalnya.
Donny mengingatkan bila pembajakan tak segera di atasi, maka tentunya software asing bakal ringan kaki meninggalkan Indonesia, putar haluan mencari negara yang tingkat pembajakannya lebih rendah. “Ironisnya ini tidak bisa dilakukan oleh pengembang software lokal,” tuturnya.
Kenangan di Ambalat
Tiga tahun mengabdi, Donny memutuskan keluar dari BSA. Saat itu selain ingin meninggalkan zona nyaman, Donny mulai tertarik dengan dengan persoalan pertahanan negara dan hal-hal yang menyangkut militer. Kebetulan Donny mendapat beasiswa Kementrian Pertahanan untuk melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan). Pada akhir tahun 2012 Donny berhasil menamatkan pendidikan disana dan berhasil meraih gelar Magister Sains Bidang Pertahanan.
Pengalaman tak terlupakan, saat melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Ambalat, sebagai kawasan sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Donny juga berkesempatan belajar tentang Manajemen Sumber Daya Pertahanan pada suatu kursus singkat yang diselenggarakan oleh Naval Postgraduate School, Monterey, CA, Amerika Serikat.
Donny bercerita, saat di Ambalat, ia menemukan kondisi yang kontras pada daerah Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Pada saat malam hari, perbatasan kita sangat gelap gulita sementara di seberangnya sangat terang berderang. Menyedihkannya, karena keterbatasan infrastruktur, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat di daerah perbatasan tersebut sangat tergantung pada Malaysia. “Setiap hari kita mudah menemukan kapal-kapal kecil Malaysia sandar di pelabuhan tikus yang ada di perbatasan tersebut. Melalui sungai-sungai, kebutuhan pokok masyarakat kita seperti LPG, susu, telur, mentega, terigu dan beras dipasok oleh Malaysia. Di Pulau Sebatik, banyak warung di sana yang bertransaksi dengan mata uang Rupiah dan Ringgit,” gumamnya.
Donny juga menemukan fakta, bahwa salah satu ancaman non konvensional kepada kedaulatan sebuah negara tidak hanya disebabkan oleh wabah penyakit dan bencana alam saja. Tapi juga berupa hilangnya SDM yang berkualitas karena mereka tidak tertarik untuk bekerja di Indonesia. “Nah salah satu hal yang menyebabkan keengganan tersebut disebabkan oleh maraknya pembajakan. Kondisi inilah yang hingga kini membuat negara kita terus-menerus berada dalam tekanan luar negeri,”bebernya.
Kini setelah lulus dari Unhan, Donny didekati oleh beberapa produser musik terkenal di tanah air. Kebanyakan meminta Donny dengan rekam jejaknya di BSA membantu Wahana Musik Indonesia (WAMI) untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya membayar royalti kepada para pencipta lagu. Singkat cerita Donny pun akhirnya menjabat sebagai Direktur di WAMI.
Di bawah kepemimpinannya selama setahun terakhir, tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya membayar royalti kepada pencipta lagu mulai tumbuh. Tempat-tempat usaha yang biasa menggunakan lagu seperti karaoke, perusahaan penerbangan, pusat perbelanjaan dan bahkan tempat pijat sekalipun mulai menyadari pentingnya pembayaran royalti tersebut. Bahkan, tak hanya di negeri sendiri, di Malaysia dengan bekerjasama dengan lembaga sejenis WAMI, Donny berhasil mengumpulkan royalti senilai hampir Rp1 miliar. “Lagu-lagu Indonesia sangat merajai Malaysia,” jelas Donny.
Sayangnya, lanjut Donny, kondisi berbeda terjadi di dalam negeri. Misalnya pada stasiun radio dan televisi ternyata emoh membayar royalti. Padahal, perusahaan tersebut sudah banyak mengantongi untung dari iklan dan berbagai tayangan yang didalamnya menggunakan lagu. “Mereka berasalan, selama ini sudah membantu para pencipta lagu dengan menayangkan lagu tersebut. Mereka lupa, kalau nggak disertai musik boleh jadi aneka tanyangan mereka menjadi tidak menarik untuk ditonton,”pungkas Donny. (Windarto/Ranap)