Oleh : Sasmito Hadinegoro
Untuk meningkatkan penerimaan pajak, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan akan menerapkan kebijakan sunset policy jilid II mulai 1 Mei 2015 ini. Sebuah program merupakan bagian dari kebijakan Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015 yang dicanangkan Presiden Joko Widodo di Istana Negara.
Melalui kebijakan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada wajib pajak dan mendorong mereka mendaftarkan diri ke kantor pajak untuk mendapatkan nomor pokok wajib pajak, menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak (SPT), membetulkan SPT, serta melakukan pembayaran pajak.
Tak hanya itu, pemerintah juga akan menghapus sanksi berupa bunga atas wajib pajak yang membetulkan surat pemberitahuan (SPT)-nya. Bahkan DJP juga akan menghapus sanksi administrasi berupa bunga dan denda atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak. Namun untuk memperoleh keringanan tersebut, wajib pajak harus menyampaikan surat permohonan kepada DJP dengan melampirkan bukti pelunasan utang pajak. Setelah itu, baru sisa sanksi administrasi yang melekat dapat dihapuskan.
Guna mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut, pemerintah menerbitkan payung hukum berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur kebijakan penghapusan sanksi atas utang yang muncul atas koreksi SPT tersebut. Namun PMK tersebut menerangkan setiap permohonan hanya berlaku untuk satu surat tagihan pajak. Kecuali, surat ketepatan kurang bayar pajak diterbitkan lebih dari satu kali, maka permohonan dapat diajukan lebih dari satu kali.
Lantas apa yang membedakan sunset policy jilid II tersebut dengan sunset policy yang pernah dilakukan DJP Kemenkeu pada 2008 lalu. Setidaknya ada satu perbedaan mendasar dari sunset policy di era Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito kali ini dengan yang diterapkan Darmin Nasution, Dirjen Pajak terdahulu. Kalau dulu pembetulan dilakukan secara sukarela (voluntary), saat ini sifatnya wajib (mandatory), artinya DJP tidak akan menerima begitu saja pembetulan SPT yang dilakukan wajib pajak namun akan melakukan pemeriksaan silang dengan menggunakan data yang dimilikinya.
Pemerintah tampaknya yakin digelarnya kembali kebijakan sunset policy jilid II dapat mengulang keberhasilan sunset policy jilid I yang dianggap berhasil meningkatkan penerimaan pajak. Kala itu, realisasi penerimaan pajak sebesar 6 persen di atas target yang ditetapkan pemerintah. Kendati demikian, tak dipungkiri bahwa setelah habis masa berlaku pemberian fasilitas tersebut, tingkat kepatuhan wajib pajak mengalami penurunan. Terbukti, sejak tahun 2009 hingga 2014 lalu, penerimaan pajak selalu tak mencapai target yang ditetapkan pemerintah (shortfall).
Tidak Efektif
Rencana pemerintah menerapkan kebijakan penghapusan sanksi pajak atau sunset policy dinilai bakal menghadapi sejumlah kendala. Menurut saya sunset policy jilid II diyakini tidak akan terlalu efektif meningkatkan penerimaan pajak. Pasalnya karena sifatnya yang wajib, diyakini banyak orang yang ogah memanfaatkan program ini lantaran takut masuk perangkap. Bagi saya kebijakan ini sama saja dengan cari-cari kesalahan WP.
Namun demikian kritik ini jangan diartikan saya tidak mendukung upaya DJP untuk meningkatkan penerimaan pajak. Buat saya kebijakan yang sifatnya wajib adalah sesuatu yang salah. Pasalnya dengan prinsip wajib dan bukan sukarela, kebijakan sunset policy jilid II sama saja dengan pemaksaan terhadap wajib pajak. Mengapa, karena seolah-olah WP dipaksa untuk melaporkan SPT-nya pada tahun 2010 yang akan kadarluwarsa pada tahun 2016. Jadi jangan heran kalau ada yang bilang kebijakan ini tak lain adalah perangkap buat WP, karena mereka “seolah” dipaksa membuka boroknya sendiri.
Selain itu yang lebih merisaukan lagi, alih-alih fokus pada WP besar, dalam menerapkan upaya peningkatkan penerimaan pajak, saat ini DJP terlihat lebih fokus pada WP kecil. Lagi-lagi menurut saya ini adalah sesuatu yang kurang tepat. Paling tidak ini terlihat dari diberlakukannya PP Nomor 46 Tahun 2013. Dengan beleid ini, pemerintah mewajibkan pengusaha kecil wajib membayar PPN jika memiliki omzet minimal Rp 4,8 miliar setahun.
Di Jawa Timur, kantor pajak mengejar-ngejar pengurus KUD setempat untuk membayar tunggakan pajak senilai Rp1-1,5 miliar pada tahun 2010, hanya karena selama 3 tahun terakhir (2011-2013) mereka rutin membayar pajak senilai Rp600-700 juta. Padahal kalaupun pada tahun 2010 tidak membayar pajak, itu semata-mata karena pengurus KUD setempat belum memungut iuran pajak dari para anggotanya karena mereka belum paham. Fakta ini seolah membuktikan, kalau kantor pajak pratama setempat “seolah” terbebani untuk menaikkan omzet penerimaan pajak, sehingga mereka mengambil cara termudah dengan mengejar WP kecil yang nilai tawarnya lemah.
Padahgal agar tak mubazir dan lebih mendapatkan hasil maksimal, dengan jumlah SDM yang terbatas hanya 33 ribu orang, akan lebih baik jika DJP mengoptimalkan penerimaan pajak dengan cara melakukan intensifikasi terhadap WP besar. Lihat saja SKP pajak Sritex yang mencapai Rp150 miliar pada tahun 2013. Pertanyaannya sekarang kalau kita kejar WP kecil untuk mendapatkan RP150 miliar, perlu berapa petugas pajak yang harus dikerahkan.
Pajak perusahaan tekstil Sritex adalah salah satu contoh dari besarnya potensi penerimaan pajak dari WP besar. Apalagi kalau kita mengacu pada data 400 orang terkaya di dunia versi Majalah Forbes, kita dengan mudah menemukan fakta, bahwa potensi penerimaan pajak dari para wajib pajak besar di Indonesia, memang masih sangat besar dan masih banyak yang belum tersentuh. Jangan lupa dari total WP saat ini yang jumlahnya 10 juta, 10 persen diantaranya atau kira-kira 1 juta WP. Nah kalau kita fokus 10-20 persen dari 1 juta WP besar tersebut, saya kira ini lebih konkrit dan lebih realistis.
Lagi-lagi saya sepenuhnya mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Apalagi saya paham pajak saat ini sudah menjadi tulang punggung pembiayaan pembangunan karena porsinya sudah diatas 70 persen. Namun upaya tersebut harus sesuai dengan prinsip akuntabel dan transparan sesuai dengan tata kelola keuangan negara yang baik sebagaimana amanat UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Kerena itu pemerintah khususnya Menteri Keuangan cepat tanggap dengan suasana psikologis masyarakat sebagai pembayar pajak. Artinya uang pajak yang disetor masyarakat mestinya harus kembali untuk sebesar-besarnya kepada kesejahteraan rakyat seperti subsidi BBM, pangan, pendidikan, kesehatan, dan pertahanan negara, dan bukan untuk membayar bunga obligasi rekap (OR) setiap tahun sebesar Rp60 triliun.
Sungguh ironis dana hasil pajak yang dikumpulkan dari masyarakat saat ini tidak banyak dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Pemerintah dengan mudahnya mencabut subsidi BBM, tapi pada saat yang bersamaan, sejak tahun 2003, tetap membayar bunga OR yang mencapai puluhan triliun rupiah tiap tahunnya. Nah kalau kebijakan yang keliru ini tetap diteruskan, maka jangan salahkan jika rakyat memilih menunda membayar pajak.
Ibarat iuran RT, jika pengurus RT tidak menggunakan dana hasil iuran sebagaimana mestinya, maka sebagai warga sejatinya boleh menunda membayar iuran RT sampai pengurus RT bisa mempertanggungjawabkan pengelolaan dananya. Akan halnya pajak, maka sebagai warga negara pembayar pajak, kita bisa juga menunda membayar pajak jika dana pajak tak digunakan dengan benar. Dan ini sama sekali tidak melanggar undang-undang.
Jangan lupa sejarah sudah membuktikan banyak peristiwa revolusi terjadi tatkala rakyat sudah enggan membayar pajak. Ini yang terjadi pada Revolusi Perancis. Kala itu rakyat bergerak melakukan revolusi karena uang pajaknya digunakan dengan semena-mena oleh para bangsawan dan kaum borjuis Perancis. Peristiwa Revolusi Perancis juga mengilhami gerakan Pangeran Diponegoro yang mengimbau rakyatnya untuk menolak membayar pajak kepada VOC sehingga meletuslah perang Jawa (1825-1830), yang membangkrutkan VOC. Semoga ini bisa menjadi cermin buat pemerintah.
Penulis adalah Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia sekaligus Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN)