Retno Iswari Tranggono: Jatuh Cinta Dengan Dunia Kosmetik
Jakarta Review – Lahir sebagai keluarga priyayi (keturunan bangsawan), tidak membuat Retno Iswari Tranggono membanggakan statusnya tersebut. Ayahnya, Soerono, berprofesi sebagai seorang guru. Sementara ibunya, Moekibah, selain sebagai ibu rumah tangga, juga pernah melakukan bisnis rumahan. Aneka kepahitan dan kerunyaman hidup di tengah situasi perang kemerdekaan, membuat Retno bersama keluarganya harus hidup berpindah-pindah.
Setiap kali mulai terancam, keluarganya harus mengungsi. Pengalaman tersebut menggemblengnya sebagai wanita kecil yang bertanggung jawab disegala situasi. Bahkan, saat ibunya mencoba untuk membuka bisnis rumahan, Retno sudah terbiasa ikut membantu.
Meski sang ibunda memiliki sifat lebih keras dari ayahnya, Retno mengakui bahwa sikap itulah yang menggembleng kepribadian Retno menjadi perempuan yang disiplin dan teguh dalam memegang prinsip. Gemblengan sang ibu juga sedikit mempengaruhi kariernya sebagai pengusaha. Dari ibunya, ia belajar bagaimana bisa mandiri secara ekonomi. Sebab, dengan melakukan bisnis rumahan, Retno menafsirkan bahwa ibunya tidak segan-segan berdagang demi menambah pendapatan suaminya.
Selain berlatih berdagang, Retno juga berlajar membuat barang kerajinan tangan. Itu karena sang bunda pun aktif membuat kerajinan tangan dari bahan kulit dan anyaman rotan, yang akhirnya bisa dijual secara laris manis.
Hidup di lingkungan keluarga pendidik, membuat pendidikan selalu dinomorsatukan. Tanpa membedakan lelaki atau perempuan, sikap modern yang dimiliki oleh orang tua Retno selalu mendidik anak-anaknya untuk maju dan bertanggung jawab dalam pendidikannya. Tidak heran bila dalam kegiatan akademik Retno selalu berprestasi.
Pendidikan yang diterapkan orang tua Retno terbukti keunggulannya. Selepas SMA, Retno langsung melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dihati kecilnya, sempat terbersit keinginan untuk menekuni bidang pertanian. Namun, Retno memilih mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan akhirnya berkuliah disana. Alasannya, salah satu kakaknya, Subyakto, yang berprofesi sebagai pilot, juga bermukin di ibukota Jakarta. Hingga, Retno bisa menumpang singgah ketika dirinya berkuliah. Di FKUI, Retno mengambil spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin.
Saat dirinya ada di tingkat 5 sebagai doctorandus medicus, Retno sempat bekerja di sebuah institute kecantikan di Jakarta. Dia mengajar sekali seminggu di tempat tersebut. Namun, ia mengakui mengenal seluk beluk dunia kosmetik dengan pengalamannya tersebut. Disitu saya mulai jatuh cinta dengan yang namanya kosmetik. Kosmetik yang terkait dengan kesehatan kulit yang dipelajari di FK UI, ungkap Retno.
Retno pun lulus sebagai spesialis Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tepat pada waktu perekonomian Indonesia bergerak tumbuh, yaitu tahun 1968. Saat itu, adalah satu tahun setelah ia melahirkan anak keduanya hasil pernikahannya dengan Suharto Tranggono, seorang dokter militer Angkatan Udara Republik Indonesia. Bagi Retno, memiliki seorang Tranggono memberikan keberuntungan istimewa. Selain sebagai pendamping hidup, suaminya ini adalah mitra kerja baginya. Kesuksesan pengembangan bisnis Ristra pun tidak terlepas dari campur tangan suaminya ini.
Disertasi kedoktoran Retno memang khusus mengkaji masalah jerawat. Dia tertarik meneliti masalah jerawat karena teringat masa-masa pahit ketika ia harus selalu disindir sebagai Janda Bopeng. Pasalnya, dimasa sekolah dan kuliah, ia memiliki masalah serius dengan gangguan kesehatan kulit yang bernama jerawat. Atas dasar itulah, Retno tahu seberapa besar pengaruh jerawat dan penyakit kulit pada umumnya terhadap harga diri wanita muda, dan betapa mustahilnya menangani setiap masalah tersebut dengan perawatan ala kadarnya.
Sebagai dokter muda, ia juga sangat aktif bekerja setiap pagi di poliklinik Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin. Namun, semakin lama berpraktik sebagai dermatolog, semakin jelas bahwa terapi perawatan kulit yang selama ini diterapkan di Indonesia menimbulkan masalah. Selain pola terapi berdasarkan pengetahun warisan zaman kolonial, dunia farmasi juga belum menunjang. Bahkan, produk obat pun tidak banyak tersedia. Karena itu, ia berusaha untuk menelisik lebih dalam tentang kesalahan-kesalahan penanganan kesehatan kulit yang terjadi kala itu.
Bahkan, kata Retno, ada krim yang mengandung merkuri sehingga merusak kulit. Obat jerawat yang tersedia juga tidak ampuh. Akhirnya, seseorang tidak memiliki pilihan selain menutupi jerawatnya dengan bedak muka. Sabun pun diharamkan, karena doktrin keilmuan yang diwariskan dunia kolonial tidak membenarkan wajah disabuni. Retno juga memaklumi jika pengetahuan tentang ilmu kecantikan pada era itu masih minim. Kandungan soda dalam sabun dinilai akan menyebabkan kulit kering dan rusak. Retno mencari tahu, dan akhirnya menjadi seseorang yang berhasil mengubah pandangan tersebut.
Saya mencari tahu mengapa seseorang malah rusak kulitnya ketika memakai sebuah kosmetika tertentu. Saya bertanya dalam diri sendiri, salahnya dimana. Apakah karena orangnya, apakah karena kosmetiknya, atau karena lingkungan alamnya. Disitu saya sudah mulai meneliti dan mengatakan bahwa saya harus mempelajari lebih dalam lagi ilmu ini, khususnya untuk meneliti jenis kulit orang asia dan Indonesia yang memiliki iklim tropis, aku Retno.
Sempat Rugi Rp500 Miliar
Menurut Retno, komitmen itulah yang menjadi cikal bakal pendirian Ristra yang memiliki filosofi the science of beauty. Artinya, ilmu kecantikan kulit yang benar-benar berdasarkan keilmuan. Saat itu ilmu kecantikan kulit di Indonesia masih kental dengan pengaruh ilmu dari Belanda. Padahal, prinsip-prinsip yang diterapkan cukup berbeda dengan iklim tropis yang dimiliki Indonesia, ucapnya.
Hingga sekarang produk Ristra milik Retno ini berkembang pesat dan berhasil bertahan selama 24 tahun. Saat ini Ristra telah mememiliki enam cabang klinik yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Beberapa perusahaan internasional, seperti Sara Lee dan British Petroleum, sempat menawar untuk membeli perusahaan itu. Tapi, semua tawaran itu ditolak Retno.
Perjalanan usaha yang dilakoni Retno ini bukan berarti selalu berjalan mulus, Retnopun bertutur pada tahun 1987 Ristra pernah menghadapi masalah, pernah mengalami rugi sekitar lima ratus milliar. Peristiwa ini terjadi bukan karena produknya tidak laku di pasaran, akan tetapi uangnya tidak masuk perusahaan karena ditipu orang. Saat itu modal yang dimiliki Retno di Bank hanya tersisa Rp 10 juta dengan terpaksa Retno harus meminjam modal di bank. Meski merugi, Ristra tetap bertahan dan bangkit lagi serta bertahan hingga sekarang.. Bagi Retno, turun-naik sebuah usaha itu lumrah, layaknya roda kehidupan.
Saat ini Retno bermaksud menyerahkan usahanya kepada pebisnis yang lebih professional, Dia berharap, ditangan pebisnis yang lebih muda, usahanya ini akan lebih maju. Lalu kemanakah Retno? Dia mengaku akan lebih berkutat dibalik layar. Dan obsesinya yang mau mau kuliah lagi di jurusan filsafat.
Kosmetik telah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, terutama kaum wanita. Sayangnya, banyak sekali isu kecantikan yang dijanjikan oleh berbagai produk kosmetik tidak mengindahkan efek samping bahan-bahan kosmetik terhadap kulit. Kesehatan kulit tak lagi dipertimbangkan demi penampilan yang bersifat sementara, namun berujung pada kerusakan di kemudian hari.