Sasmito Hadinegoro : Lantang Menentang Jebakan Utang Abadi
Tak pantang menyerah melakukan penentangan terhadap obligasi rekap, dengan berbagai upaya. Utang berbunga dari perbankan sebesar Rp 650 triliun rupiah pada 1998 lalu tentu menambah kesengsaraan.
Jakarta Review – Bagi Sekretaris Jenderal Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI), Sasmito Hadinegoro menyelamatkan uang pajak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan sekaligus mencegah rekayasa utang abadi exBLBI sangat penting untuk dilakukan.
Menurutnya, jika kedua hal tersebut tidak segera dilakukan, pada tahun 2014, maka pada tahun 2033 utang Indonesia bisa mencapai Rp3000 triliun dan akan membengkak menjadi Rp14.000 triliun pada tahun 2044. Tentu saja Indonesia tak ingin menjadi negara kolaps karena tak mampu membayar utang abadi yang diwariskan oleh pejabat-pejabat korup pada periode tahun 2002-2013.
Upaya Sasmito menggugat subsidi bunga obligasi rekap tidak main-main. Melalui Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS), sejak April 2010 lalu, dirinya mulai fokus memperjuangkan hal tersebut. Kala Presiden SBY menginstruksikan tangkap big fish mafia pajak, saya konsisten dengan gerakan road to campus di 15 kota besar Indonesia, ungkap pria yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Penyelidikan Keuangan Negara ini.
Terkait penyelesaian obligasi rekap tersebut, Sasmito tak henti-hentinya menyuarakan kepada penegak hukum untuk segera memeriksa empat pejabat negara yang diduga terlibat. Ia menyebutnya kuartet mafia pajak yakni Sri Mulyani, Boediono, Darmin Nasution dan Agus Martowardojo. Keempat orang tersebut patut diduga terseret mega skandal pajak keuangan negara hingga triliunan. Yang jelas ada bukti hukumnya dan tak terbantahkan, tegasnya.
Selain itu pemeriksaan pejabat terkait juga diharapkan dapat membuat efek jera (deterence effect) dengan demikian bagi siapapun hukum dipahami tidak hanya tajam kebawah tapi tajam ke atas.
Lebih dari itu, baginya kebijakan pembayaran bunga obligasi rekap juga melanggar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.45 Pasal 23 bab 8 tentang APBN dan UU No 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Karena telah begitu banyak melanggar UU, maka kebijakan terus melakukan pembayaran bunga obligasi rekap adalah pornografi keuangan negara dan perampokan uang negara yang skandalnya lebih besar dari skandal Hambalang dan Century. Bisa dikatakan kebijakan yang ngawur tersebut adalah rekayasa sistemik dan rekayasa policy, dan karena itu Menkeu periode 2003 sampai sekarang harus dimintai pertanggungjawaban.
Selain itu, alokasi pajak rakyat setiap tahun untuk membayar bunga berikut pokok utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mencerminkan ketidakadilan negara terhadap rakyat miskin yang tidak menikmati utang tersebut. Apalagi beban utang obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar 650 triliun rupiah pada 1998 itu merupakan pangkal dari membengkaknya utang Indonesia hingga kini.
Oleh karena itu, Sasmito mendesak pemerintah untuk menegakkan keadilan terhadap rakyat dengan menghentikan pembayaran kewajiban utang, terutama bunga obligasi rekap yang mencapai 60 triliun rupiah tiap tahun. Sudah sepatutnya pemerintahan yang didukung oleh mayoritas rakyat kembali pada amanah bangsa, bukannya melindungi obligor pengemplang BLBI dan memprioritaskan uang pajak untuk memenuhi kewajiban utang kepada kreditor.
Beban utang BLBI ini jelas tidak adil bagi rakyat. Uang pajak yang dipungut negara dipakai membayar utang BLBI. Komitmen pemerintah memperjuangkan nasib rakyat kecil patut dipertanyakan. Pembayaran bunga obligasi rekap adalah bukti paling nyata bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat, pasalnya kebijakan tersebut dengan sendirinya mengurangi anggaran kesejahteraan rakyat. Padahal, disisi lain dalam skema BLBI, pemerintah dengan gampang menerbitkan obligasi demi kepentingan segelintir orang.
Jika melihat konteks kebijakan APBN yang bergantung hingga 80 persen dari penghasilan pajak, pemerintah khususnya Menteri Keuangan harus cepat tanggap dengan suasana psikologis masyarakat sebagai pembayar pajak. Jadi kalau uang pajak yang disetor masyarakat tidak kembali untuk sebesar-besarnya kepada kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik seperti subsidi BBM, pangan, pendidikan,kesehatan dan pertahanan negara, jangan salahkan jika rakyat menunda membayar pajak.
Sungguh ironis dana hasil pajak yang dikumpulkan dari masyarakat saat ini tidak banyak dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya, perolehan pajak justru digunakan untuk hal yang sia-sia seperti membayar bunga obligasi rekap yang mencapai puluhan triliun rupiah tiap tahunnya.
Ibarat iuran RT, jika pengurus RT tidak menggunakan dana hasil iuran sebagaimana mestinya, maka sebagai warga sejatinya boleh menunda membayar iuran RT sampai pengurus RT bisa mempertanggungjawabkan pengelolaan dananya. Akan halnya pajak, maka sebagai warga negara pembayar pajak, kita bisa juga menunda membayar pajak jika dana pajak tak digunakan dengan benar. Dan ini sama sekali tidak melanggar Undang-undang.
Jangan lupa sejarah sudah membuktikan banyak peristiwa revolusi terjadi tatkala rakyat sudah enggan membayar pajak. Ini yang terjadi pada Revolusi Perancis. Kala itu rakyat bergerak melawan melakukan revolusi karena uang pajaknya digunakan dengan semena-mena oleh para bangsawan dan kaum bourjuis Perancis. Nah peristiwa revolusi perancis juga mengilhami gerakan Pangeran Diponegoro yang menghimbau rakyatnya untuk menolak membayar pajak kepada VOC sehingga meletuslah perang Jawa (1825-1830), yang membangkrutkan VOC. (ranap)