Oleh: Bambang Setiadi
Sekitar 1995, saya mendapat undangan seminar di Manila, Filipina. Sore menjelang malam, listrik mati. Saya panik. Di negeri orang, sendirian, di lantai 8 sebuah hotel. TV, air, lampu, AC, lift, semua mati. Durasinya panjang dan, seolah belum cukup, ini terjadi berulang beberapa kali. Malam itu saya seperti berhadapan dengan kiamat kecil. Pagi harinya, ketika ketemu kolega, saya tanyakan bagaimana mungkin di ibu kota negara terjadi pemadaman listrik demikian parahnya.
Kolega saya itu menceritakan bahwa semua ini karena rencana mantan Presiden Marcos untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dijadikan isu politik besar yang kemudian menjatuhkan Presiden. Pada mulanya, Presiden Marcos, pada Juli 1973, mengumumkan keputusan membangun PLTN. Keputusan ini sebagai tanggapan terhadap krisis minyak di 1973. Embargo minyak Timur Tengah saat itu telah menempatkan beban berat pada ekonomi Filipina.
Marcos percaya bahwa tenaga nuklir menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan energi negara dan mengurangi ketergantungan pada impor minyak. Namun, dengan ide itulah justru Marcos digulingkan oleh Revolusi EDSA pada 1986.
Presiden Corazon Aquino memutuskan untuk tidak mengoperasikan PLTN. Pertimbangan lain yang membuatnya menghentikan operasi PLTN adalah adanya oposisi yang kuat dari warga tempat lokasi PLTN di Bataan serta keprihatinan warga Filipina atas konstruksi PLTN yang sudah dibangun sejak 1976. Sekarang, bangunan PLTN itu hanya menjadi tempat pariwisata.
Karena skenario pemulihan energi yang gagal itulah sebabnya hingga saat ini Filipina menjadi negara yang kekurangan daya untuk membangun dan selalu dalam posisi paling bermasalah dalam pembangunan ekonomi—bukan hanya di ASEAN, tetapi di kawasan Asia Pasifik. Filipina tengkurap tak bisa bangun karena tidak punya sumber energi.
Bahkan, Jepang Bangkit Lagi
Akhir tahun ini terjadi pembuktian akal sehat tentang pentingnya energi untuk membangun bangsa dan pentingnya PLTN. Bagaimanapun hebatnya bencana nuklir yang pernah terjadi di Jepang, terakhir bencana Fukushima, tak menghalangi negara itu kembali memeluk ide menjadi negara berbasis nuklir.
Belum lama ini, Shinzo Abe memenangkan voting mengenai perlunya pengoperasian kembali PLTN Senda No.1 dan No.2. Bahkan, penduduk yang setuju pembangkitan kembali PLTN adalah penduduk yang tinggal di sekitar lokasi PLTN itu dibangun. Ini lantaran gelombang penutupan 48 PLTN, pasca insiden Fukushima, melahirkan ribuan pengangguran. Dengan keputusan ini, Jepang mengakhiri empat tahun era tanpa nuklir.
Di era empat tahun tanpa nuklir itu ekonomi Jepang kelimpungan karena impor batu bara dan LNG yang, pada saat menggunakan nuklir hanya US$11 miliar, membengkak jauh menjadi US$17 miliar dan terus merangkak menjadi US$22 miliar pada 2013. Defisit ekonomi pun membengkak drastis menjadi US$112 miliar. Nilai Yen juga jatuh di pasar internasional.
Indonesia, Hanya Siap tetapi Tak Bergerak
Di Indonesia, persiapan untuk memiliki PLTN juga sudah dimulai sejak 60 tahun lalu. Kegiatan pengembangan dan aplikasi teknologi nuklir di Indonesia diawali dari pembentukan Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet pada 1954. Dengan memerhatikan perkembangan pendayagunaan dan pemanfaatan tenaga atom bagi kesejahteraan masyarakat, maka melalui Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 1958, pada tanggal 5 Desember 1958 dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA), yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) berdasarkan UU No. 31 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Pada perkembangan berikutnya, untuk lebih meningkatkan penguasaan di bidang Iptek nuklir, pada tahun 1965 diresmikan pengoperasian reaktor atom pertama (Triga Mark II) di Bandung. Kemudian berturut-turut dibangun pula beberapa fasilitas riset, antara lain Pusat Penelitian Tenaga Atom Pasar Jumat, Jakarta (1966), Pusat Penelitian Tenaga Atom GAMA, Yogyakarta (1967), dan Reaktor Serba Guna 30 MW (1987) disertai fasilitas penunjangnya, seperti fabrikasi dan penelitian bahan bakar, uji keselamatan reaktor, pengelolaan limbah radioaktif, dan fasilitas nuklir lainnya.
Pada 1985, BATAN-NIRA (Italia) telah melakukan pemutakhiran studi kelayakan PLTN. Pemutakhiran ini dilaksanakan dalam rangka kerja sama dengan Bechtel (Amerika Serikat) dan Sofratome (Perancis) tentang perencanaan energi, strategi, lokasi, dan dampak lingkungan. Kesimpulan penting dari hasil studi kelayakan PLTN yang dibuat menyatakan bahwa PLTN layak dibangun di Indonesia menjelang 2000. Sementara, hasil studi yang dilaksanakan oleh Cesen (Italia) memberikan hasil bahwa proyek PLTN akan memberikan dampak sosio-ekonomi positif. Lokasi tapak reaktor PLTN yang terpilih adalah daerah Semenanjung Muria (Jawa Tengah), tepatnya di daerah Ujung Lemah Abang. (Sutarman, 2005). Deretan masalah teknis dan nonteknis membuat, sampai hari ini, tak satupun PLTN kita miliki. Ancaman masalahnya sudah disampaikan para petinggi negara, tahun depan kita akan menghadapi situasi pemadaman listrik bergilir karena kebutuhan dan pasokan energi yang njomplang.
PLTN menjadi isu serius karena ancamannya sangat serius, seperti prediksi Wapres Jusuf Kalla dalam kunjungan ke Batang “Khusus Jawa, setiap tahun itu butuh 5.000 megawatt. Begitu tidak dibuat PLTU baru, maka akan ada pemadaman listrik. Seandainya PLTU Batang tidak segera dibangun, dapat dipastikan pada 2018 akan ada pemadaman di wilayah Jateng.” Kita sekarang hanya “mlongo” karena skenario yang dirancang pada tahun depan (2015) seharusnya Indonesia sudah mempunyai 7 unit PLTN di Jawa dengan daya energi listrik sebesar 27.000 MWe. Ini adalah kegagalan pembangunan Iptek energi di Indonesia. Momentumnya hilang.
Duit Membangun PLTN
Presiden Jokowi, ketika kuliah umum di UGM, memberi logika anyar yang menjelaskan masalahnya begini: Dari APBN kita sebesar Rp2.039 triliun, Rp433 triliun untuk subsidi, dan dari Rp433 triliun subsidi itu, Rp280 triliun untuk subsidi BBM. Situasinya salah karena 72 persen yang menikmati yang punya mobil, yang seharusnya tidak perlu dapat subsidi. Alokasi subsidi BBM yang setiap tahunnya mencapai Rp280 triliun, apabila digelontorkan selama 5 tahun akan menghabiskan dana sebesar Rp 1.400 triliun.
Strateginya, subsidi BBM dialihkan ke sektor produktif, bukan konsumtif, seperti membangun rel kereta api. Untuk membangun rel kereta api di seluruh Indonesia, “hanya” dibutuhkan Rp360 triliun. “Membangun rel kereta api ini lebih penting untuk mengatasi kendala transportasi logistik.” Hitung-hitungan alih subsidi ini tetap tidak menjawab masalah dasar politik energi nasional kita, kenapa kita kekurangan energi, tetapi tidak mencari sumber energi alternatif lain? Kita sederhanakan persoalannya, mengapa subsidi sebesar Rp280 triliun itu tidak diambil sebagian untuk menyiapkan diri membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) untuk mengurangi ketergantungan kita dengan minyak? “Why not?”
Nah, posisi Indonesia sudah jelas sebenarnya, jauh lebih jelas dari beberapa negara yang saat ini sedang mengusulkan pembangunan pembangkit nuklir. Kita jelas memiliki 3 uji reaktor nuklir di Yogyakarta, Bandung, dan Serpong. Kita juga punya kajian rencana pembangunan sejak 1985; punya lokasi yang sudah ditetapkan; dana subsidi BBM yang bisa digunakan untuk membangun PLTN; punya ahli yang sudah disiapkan sejak reaktor uji di bangun. Tidak hanya itu, kita juga memiliki BATAN dan BAPETEN.
Dari deretan apa yang sudah kita miliki itu, hanya satu yang kurang: kita tidak pernah serius memikirkan PLTN. Istilah yang digunakan saat ini, dalam hal ilmu dan teknologi, kita bangsa yang angin-anginan. Padahal, pilihan ancamannya sangat jelas. Singkatnya, kalau kita tak dapat mencukupi listrik karena skenario dan visi yang tidak jelas, kita bakal dikenal sebagai bangsa yang takut mati karena PLTN. Meski kematian sebuah bangsa sesungguhnya justru kerap disebabkan seretnya listrik.
*Penulis adalah Ketua Masyarakat Akunting Sumberdaya Alam dan Lingkungan Indonesia; Anggota Majelis Etik, Persatuan Insinyur Indonesia (PII).