Untuk memenangkan persaingan global khususnya pada saat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean, bank-bank dari negara Malaysia dan Singapura gencar melakukan konsolidasi. Sayang karena ketiadaan cetak biru perbankan nasional, upaya serupa sulit dilakukan oleh perbankan nasional.
Jakrev.com – Kamis, 17 April 2014. Usai Rapat Pimpinan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kantor PT ReIndo (Persero), Menteri BUMN, Dahlan Iskan menyampaikan sebuah pernyataan yang kemudian menggegerkan Indonesia. Pernyataan itu adalah PT Bank Mandiri Tbk akan mengakuisisi PT Bank Bank Tabungan Negara Tbk. Jika itu terwujud, Bank Mandiri akan menjadi salah satu bank terbesar di ASEAN, mengalahkan bank di Malaysia maupun di Thailand.
Mestinya, akuisisi BTN oleh Bank Mandiri akan berjalan mulus. Apalagi pemilik saham mayoritas kedua bank tersebut sama, yaitu pemerintah (Kementerian BUMN). Di sebuah perseroan terbatas, walau itu BUMN, pemegang saham adalah pemilik kekuasaan tertinggi dan mutlak. Namun, walau pemerintah menguasai 60 persen saham Bank Mandiri dan 60,14 persen saham BTN, Kementerian BUMN ternyata bukan pemilik bank tersebut, paling tidak BTN.
Pernyataan Dahlan tersebut, sontak menyulut kegaduhan nasional. Pada 20 April 2014, ribuan karyawan BTN menggelar unjuk rasa bertajuk “Apel Kesetiaan Pekerja BTN.” Dengan lantang Ketua Serikat Pekerja BTN Satya Wijayantara menolak rencana akuisisi tersebut. Singkat cerita rencana akuisisi tersebut gagal total. Apalagi penolakan serupa juga dilakukan oleh sejumlah pengamat, pelaku bisnis, anggota DPR, Menko Perekonomian. Semuanya dengan berbagai alasan menolak rencana akuisisi tersebut. Penolakan tersebut menandakan rumitnya menjalankan konsolidasi perbankan di Indonesia.
Melalui Buku bertajuk “Mimpi Punya Bank Besar” ini Sigit Pramono selaku bankir senior yang kini memimpin Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) mengulas dengan gamblang mengenai rumitnya konsolidasi perbankan nasional tersebut. Menurutnya, rencana akuisisi BTN oleh sesama Bank BUMN lain bukanlah hal yang pertama. Kurang lebih depalan tahun yang lalu, Saat masih memimpin BNI, dirinya juga pernah mengusulkan untuk mengakuisisi BTN kepada Pemerintah. Saat itu BNI beralasan, konsolidasi kedua bank BUMN tersebut akan menghasilkan sinergi yang baik, sekaligus memberikan solusi kepada BTN dalam mengatasi persoalan permodalan yang sejak delapan tahun silam sudah mengganggu pertumbuhan usahanya. Bayangkan jika usulan BNI pada waktu itu dijalankan, barangkali sekarang ini BNI dan BTN sudah menjadi bank yang jauh lebih kuat dan lebih besar.
Sayangnya kenyataannya usulan BNI tumbang di tengah jalan karena ditolak dengan cara-cara yang sama dan dilakukan oleh kelompok-kelompok yang kurang lebih sama, yaitu kelompok yang takut terganggu kepentingannya, kelompok status quo, kelompok yang takut akan perubahan. Kelompok ini sama sekali tak menyadari bahwa tindakan mereka telah menghilangkan kesempatan bagi bank-bank BUMN untuk tumbuh menjadi bank yang lebih kuat dan lebih besar dari yang sekarang ini. “Ini sebuah tamparan yang keras untuk pemerintah sebagai peegang saham mayoritas, mereka tidak berdaya mengendalikan bank-bank yang sebenarnya punya peluang besar menjadi pemain tangguh di kawasan Asia Tenggara. Sebuah peluang emas kembali disia-siakan,” ujar lelaki kelahiran Batang 14 November 1958 ini.
Kegagalan akuisisi BTN oleh Bank Mandiri dan BNI inilah yang menandakan sulitnya menjalankan konsolidasi perbankan nasional. Sebaliknya menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) untuk sektor perbankan pada tahun 2020, sejumlah bank dari Malaysia dan Singapura, kini sudah bersiap diri untuk menjangkau pasar Indonesia. Mereka semua gencar melakukan konsolidasi dan berbenah guna meningkatkan daya saing mereka menghadapi MEA dengan standar QAB.
Tiga kelompok bank besar di Malaysia, yakni CIMB Group, RHB Capital dan Malaysia Building Society sudah mengambil ancang-ancang untuk merger. Rencana merger tersebut kabarnya sudah mendapat izin dari Bank Negara Malaysia bank sentral negeri jiran tersebut. “Merger dari ketiga bank tersebut akan melahirkan bank dengan aset terbesar di Malaysia US$188,46 miliar, menggeser Malayan Bank Bhd (Maybank) US$177,49 miliar,”.
Sementara itu, aset keempat bank papan atas di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan bank Malaysia tersebut. Menurut data BI, per Mei 2014, aset Bank Mandiri hanya mencapai Rp655,6 triliun. Selanjutnya BRI,BCA dan BNI masing-masing sebesar Rp604,9 triliun, Rp502,98 triliun dan Rp391,93 triliun. Jika digabungkan maka total aset keempat bank tersebut sekitar Rp2155 triliun, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan aset tiga bank Malaysia yang hendak dimerger tersebut.
Ironisnya berbeda dengan bank di negeri jiran tersebut, upaya merger untuk memperbesar aset selalu menemui jalan buntu tanpa ada titik temu. Dan yang lebih memperihatinkan lagi, hal itu terjadi tatkala sesama Bank BUMN yang akan merger. Padahal secara teoritis, mestinya merger antar sesama bank BUMN lebih mudah dilakukan karena pemiliknya sama. Namun faktanya, merger antar bank BUMN hingga kini tak membuahkan hasil. Dan merger adalah sebuah upaya yang lazim dilakukan untuk memperbesar aset. “dalam industri perbankan, ukuran menjadi sangat penting dalam mengembangkan bisnis dan memenangi persaingan,” terang Sigit.
Sigit menambahkan sejumlah bank sentral di negara-negara Asean pun sudah selesai menyusun sebuah kriteria yang dinamakan Qualified Asean Bank (QAB). Sebuah kategori yang ditetapkan oleh bank sentral di negera-negara asean untuk sebuah bank di negara-negara asean agar bisa masuk ke pasar negera asean lainnya. Hanya bank yang memenuhi kriteria QAB yang bisa masuk di kawasan Asean lainnya.
Khusus Indonesia setidaknya kini ada 4 bank yang kebanyakan merupakan Bank BUMN yang masuk dalam kategori qualified asean bank (QAB) sebuah kategori yang ditetapkan oleh bank sentral di negera-negara asean untuk sebuah bank di negara-negara asean agar bisa masuk ke pasar negera asean lainnya. Keempat bank tersebut adalah Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Nasional Indonesia dan Bank Central Asia. Sementara sejumlah bank terkemuka dari Malaysia, singapura dan Thailand berada dalam garda terdepan dalam berekspansi ke Indonesia. Pertanyaannya sejauh mana kesiapan keempat bank tersebut untuk merambah pasar Asean jika dibandingkan dengan kompetitornya.
Cetak Biru Perbankan Nasional
Sebagai bangsa yang besar, sudah sepatutnya Indonesia memiliki bank yang besar. Karena itu dalam buku ini tak lupa Sigit memaparkan tujuh langkah strategis konsolidasi perbankan yang mesti dilakukan agar bisa tercapai. Tujuh skenario besar itu harus menjadi bagian dari strategi penataan lansekap perbankan nasional guna mewujudkan cita-cita Indonesia memiliki bank besar.
Skenario pertama, adalah pendirian Bank Pembangunan Indonesia (BPI) yang fokus membiayai proyek-proyek infrastruktur dan investasi jangka panjang lainnya, seperti pembangunan jalan tol, bandar udara, pelabuhan laut, jembatan tol, bendungan untuk irigasi, saluran irigasi dan pembangkit listrik.
Nah untuk mendirikan BPI, pemerintah mengalokasikan modal awal minimal Rp100 triliun. Meski akan menimbulkan kontroversi dan perdebatan, ia mengusulkan agar modal awal tersebut disisihkan dari subsidi bahan bakar minyak (BBM). “Dana setoran modal BPI dapat berasal dari APBN yang disisihkan dari penghematan subsidi BBM,” tuturnya.
Skenario kedua dan ketiga, berupa penyiapan dua rencana mega merger perbankan. Mega merger pertama penggabungan seluruh Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang ada di Indonesia. Seluruh pemerintah provinsi bisa menjadi pemegang saham BPI. “Harus diupayakan agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak boleh melakukan intervensi langsung dalam kepengurusan dan pengelolaan BPI,” ungkapnya.
Sedangkan mega merger yang kedua adalah penggabungan Bank Mandiri dengan Bank BNI. Hasil penggabungan ini bisa dinamakan Bank BNI-Mandiri. Bank hasil penggabungan tersebut, kemudian mengakuisisi Bank BTN dan menjadikannya sebagai anak perusahaan Bank BNI-Mandiri. Bank BTN itu tetap fokus pada pembiayaan perumahan rakyat. “Seluruh portofolio kredit perumahan dari BNI dan Mandiri diserahkan ke BTN,” cetusnya.
Skenario keempat, adalah mengembalikan BRI ke khittahnya sebagai bank rakyat. BRI ke depannya bisa fokus menjadi bank UMKM yang mendukung pembangunan di sektor pertanian dan perikanan. Seluruh portofolio kredit korporasi BRI diserahkan atau dijual ke Bank BNI-Mandiri. Sebaliknya, portofolio kredit UMKM BNI-Mandiri diserahkan atau dijual ke BRI.
Skenario kelima adalah perkuat permodalan dan tata kelola bank-bank komersial swasta nasional, bank komersial menengah dan bank khusus kecil. Bank khusus kecil seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Lembaga Keuangan Mikro (LKM), koperasi, Baitul Mal Watanwil (BMT) diarahkan menjadi community bank. “Dalam konteks penataan ini, bank asing harus diformulasikan kembali posisi, peran dan kontribusinya untuk pembangunan perekonomian Indonesia,” papar Sigit.
Skenario keenam adalah penggabungan bank-bank syariah yang dimiliki oleh bank-bank BUMN menjadi satu Bank Syariah Indonesia (BSI). Kemudian, BSI ini bisa menjadi anak perusahaan BNK-Mandiri atau menjadi anak usaha perusahaan induk (super holding company) yang sengaja dibentuk sebagai perusahaan induk bank dan BUMN keuangan lainnya.
Sedangkan untuk skenario terakhir adalah penempatan bank-bank BUMN agar sebaiknya tidak berada di bawah kendali suatu kementerian seperti yang terjadi selama ini. Bank-bank BUMN tersebut sebaiknya dikelola di bawah payung perusahaan induk keuangan. “Perusahaan induk ini dapat diadakan dengan membentuk perusahaan baru atau menunjuk salah satu bank BUMN sebagai perusahaan induk,” pungkasnya. (windarto)