Jakarta Review – Guru Besar Angiologi Vaskuler FK Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) Prof.Dr.Med.dr.Frans Santosa, Kamis,8 Desember 2016 kembali meluncurkan buku tentang penanganan penyakit jantung koroner.
Acara peluncuran buku yang merupakan karya bersama dengan Prof Dietrich Strodter dari Jerman ini berlangsung di Auditorium Gedung Sudirman UPNV Jakarta. adapun dua buah buku yang diluncurkan adalah State of the art Treatment of Coronary Heart Disease dan State of the art Treatment of Hearth Failure. Kedua buku tersebut diterbitkan oleh UNIMED Verlag AG, Bremen, Jerman dalam bahasa Inggris.
Turut hadir dalam acara peluncuran buku tersebut Dr. Mariono Reksoprodjo (Dekan FK UPN Jakarta), Prof.Ir.Eddy S.Siradj (Rektor UPN Jakarta), Prof.Dr.Med.dr.Puruhito (Guru besar dan Mantan Rektor Universitas Airlangga), Prof.dr.H.Ali Sulaiman (Guru Besar FK-UI), Prof.Dr.Komarudin Hidayat, Prof.Dr.Hermawan Sulistyo, Prof. Dr.TB Ronny Nitibaskara. Selain itu hadir pula tamu undangan lainnya seperti, Prof Dr.dr. Agus Purwadianto (Ketua IDI), Prof.Dr. Fahmi Idris (Dirut BJPS Kesehatan), Prof.Ir.Purnomo Yusgiantoro (Mantan Menteri ESDM dan Menteri Pertahanan), Jenderal (Pur) TNI Moeldoko (Mantan Panglima TNI), Trimedya Panjaitan, Panda Nababan, Permadi, Abubakar Alhabsyi serta undangan lainnya.
Peluncurkan buku ini menjadi penting, karena Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan problema kesehatan utama di dunia saat ini. Data terakhir dari Badan Kesehatan Dunia PBB (World Health Organization/ WHO), PJK dan serangan jantung mendadak masih menjadi pembunuh manusia nomor satu di negara maju dan berkembang dengan menyumbang 60 persen dari seluruh kematian.
Dalam bukunya yang bertajuk State of the art Treatment of Coronary Heart Disease Dokter lulusan Ilmu Kedokteran Vaskuler di Department of Angiology, University Hospital, di Essen, Jerman ini menilai saat ini ada yang kurang tepat pada tata laksana pengobatan PJK di Indonesia.
Menurutnya banyak dokter yang terlalu cepat memilih melakukan tindakan pemasangan ring stent atau bahkan langsung operasi by pass saat menangani pasien jantung yang stabil atau belum akut. Padahal berbagai teknologi dan inovasi kedokteran terus ditemukan sebagai upaya mengobati penyakit mematikan ini. Temuan terbaru, yakni penggunaan terapi konservatif pada pasien PJK yang masih stabil.
Terapi konservatif sendiri adalah terapi pengobatan agresif dengan obat-obatan yang direkomendasikan dokter pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang masih stabil. Dengan terapi ini, penderita penyakit jantung koroner yang belum masuk kategori gawat tidak perlu menjalani tindakan lainnya, baik pemeriksaan kateterisasi (balon), pemasangan ring (stent), pompa jantung, maupun operasi by pass.
Direktur Jakarta Vascular Centre ini menambahkan, sebenarnya ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan sebelum melakukan tindakan pemasangan stent atau bahkan langsung operasi by pass. Analoginya sama dengan pasien baru datang. Jangan baru direkam langsung disimpulkan harus kateter atau pakai ring. Ini terlalu cepat.
“Mohon maaf banyak orang di Indonesia belum memiliki polis asuransi. Sementara penghasilannya juga nggak tinggi. Akibatnya kalau berobat mahal. Jadi kasian mereka kalau mendapatkan terapi yang salah namun berbiaya mahal,” ujar lelaki kelahiran Surabaya 5 Juni 1951 ini.
Selain berbiaya mahal direktur Klinik Kardiologi & Angiologi Waringin Merdeka ini menjelaskan penanganan pasien PJK pada stadium awal yang tidak tepat, juga berpotensi dapat menimbulkan kejadian komplikasi, yaitu robeknya pembuluh darah koroner sehingga terjadi penggumpalan darah dan akhirnya meningkatkan risiko kematian.
Berbeda halnya dengan pasien PJK yang masuk kategori nggak stabil atau sudah akut. Kondisinya memang harus diperiksa dengan betul. Tentu juga harus sesuai dengan tingkatan. Untuk pasien PJK yang nggak stabil yang paling bagus adalah kateter jantung. Itu yang bagus karena gold standar. Tetapi yang stabil nggak perlu periksa kateter apalagi pasang ring. Nggak usah. Karena dia diobati saja cukup.
“Jadi ngapain harus diperiksa dengan kateter kalau bisa diobati biasa. Guru kita kan selalu bilang. Kalau bisa diobati ngapain mesti dioperasi,” ungkap ayah 3 anak ini menjelaskan.
Evidence Based
Sekedar informasi buku bertajuk State of the art Treatment of Coronary Heart Disease adalah bukan buku baru. Pasalnya edisi pertama yang dicetak pada tahun 2011 lalu sudah habis diserap pasar. Jadi buku yang saat ini adalah edisi kedua atau edisi revisi.
“Buku edisi pertama yang dicetak tahun 2011 sebanyak 15 ribu eksemplar sudah habis di pasaran,” tuturnya bangga.
Di edisi kedua ini, Frans ingin lebih memastikan bahwa terapi yang disebutkan pada edisi pertama itu sudah sangat berkembang dan tepat. Bisa dibilang di edisi kedua ini sifatnya penguatan. Apalagi ada beberapa obat baru yang menambah efektifitas terapi pengobatan yang belum disebutkan di edisi pertama namun kita tulis di edisi kedua.
Sementara pada buku yang bertajuk State of the art Treatment of Hearth Failure Frans mengulas tentang penyakit payah jantung (jantung lemah). Di buku ini Frans menuturkan dengan pengobatan yang benar, maka penderita jantung lemah sekalipun bisa diobati dan mengalami recovery. Caranya dengan mengkonsumsi obat-obatan yang benar dan sesuai dengan takaran selama 6 bulan hingga 1 tahun. Hasilnya walau nggak akan sembuh seperti sedia kala namun pembengkakakan pada jantung yang dialami penderita lemah jantung bisa dikecilkan atau berkurang. Simptomatiknya membaik. Dengan demikian kerja jantung menjadi lebih ringan sehingga otot-otot jantungnya bisa membaik (recovery). Dan kalau sudah recovery rasa sakit, dan sesak yang diderita cepat reda.
Dengan kedua buku terbarunya ini peraih nobel dari Komunitas Nobel Indonesia (KNI) ini berharap lebih banyak dokter yang membaca. Apalagi informasi yang ada kedua buku tersebut dimuat berdasarkan penelitian ilmiah yang sudah dibuktikan (evidence based). Bukan kata orang atau testimoni mbah surip.
“Kedua buku ini saling melengkapi, karena keduanya menyajikan sebuah metode pengobatannya yang benar beserta obat-obatan pendukung dalam pengobatan pengakit jantung. Dan informasinya semuanya berbasis penelitian ilmu kedokteran evidence based. Karena itu tak heran buku ini kini telah menjadi salah satu buku referensi wajib para dokter yang hendak mengambil spesialisasi penyakit jantung di berbagai negara Eropa, khususnya Jerman. Namun semuanya kembali terpulang kepada dokter itu sendiri. Boleh nurut boleh juga tidak. Yang jelas saya hanya ingin berbagi pengetahuan bahwa ada cara seperti ini. Jangan takut kalau memang benar. Selama tindakan benar sesuai yang disarankan dunia kedokteran dan pengobatannya murah, aman dan ampuh, Ya ojo wedi,” tandasnya.
Frans juga berharap agar dokter jangan main-main kalau memberi obat.
“Kalau anjurannya 20 rekomendasinya 40 ya kasih 40. Jangan dipotong-potong. Nanti kasian pasiennya. Adapun pasien juga agar nurut kalau dikasih obat. Jangan sehari minum lalu besoknya nggak. Atau dosisnya kata tetangga harus dikurangi jadi separuh. Jadi jangan lebih percaya kepada tetangga daripada dokter,” pungkasnya.(win)